Sejak tahun 1960, konsep pembelajaran telah diaplikasikan dalam ilmu kebijakan (Verbeeten,1999:3). Deutsch (1966) adalah salah satu dari pengarang pertama yang menulis tentang policy learning dan governments (May,1992:332; Eberg,1997:17). Dalam ilmu psikologi, pembelajaran yang selanjutnya disebut learning adalah inti dari sebuah konsep. Tingkah laku manusia dianggap sebagai bagian dari hasil sebuah learning (pembelajaran). Guthrie (1942) mendefinisikan learning sebagai “the alteration in that results from experience”. Learning merupakan bentuk perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Lewin (1954) menggambarkan learning sebagai suatu perubahan di dalam struktur teori. Hilgard dan Bower (1975:17) menguraikan learning sebagai perubahan perilaku subyek yang diperbaiki melalui pengalaman-pengalaman yang diulang pada situasi yang sama. Sedangkan menurut Barker (1997:3), learning biasanya digambarkan sebagai suatu perubahan yang kurang lebih permanen dalam berperilaku sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman pribadi pada suatu lingkungan. Dari definisi-definisi tersebut, bisa disimpulkan bahwa learning memiliki 2 karakteristik yaitu 1) learning melibatkan sebuah perubahan secara sadar seperti halnya perilaku, 2) learning adalah hasil dari pengalaman atau pelatihan.
Dalam teori perencanaan (planning theory), perencanaan dianggap sebagai suatu learning process (proses pembelajaran) (Vught, 1978:4; Friedman,1987:181). Itu artinya, selama proses perencanaan para pelaku (stakeholders) seharusnya belajar dari informasi yang diperoleh serta dari tindakan yang diambil. Stakeholders tentu mempunyai sasaran dan kepentingan mereka sendiri sehingga dalam memandang arti dari perencanaan itu sendiri akan timbul perbedaan antar stakeholders. Ini memungkinkan timbulnya partisipasi dari seluruh aktor (stakeholders) dalam proses tersebut.
Dalam teori perencanaan (planning theory), perencanaan dianggap sebagai suatu learning process (proses pembelajaran) (Vught, 1978:4; Friedman,1987:181). Itu artinya, selama proses perencanaan para pelaku (stakeholders) seharusnya belajar dari informasi yang diperoleh serta dari tindakan yang diambil. Stakeholders tentu mempunyai sasaran dan kepentingan mereka sendiri sehingga dalam memandang arti dari perencanaan itu sendiri akan timbul perbedaan antar stakeholders. Ini memungkinkan timbulnya partisipasi dari seluruh aktor (stakeholders) dalam proses tersebut.
Bila saya boleh meminjam model learning yang dikemukakan oleh Argyris dan Schön dalam bukunya Organizational Learning (1978) maka ada dua model learning yang bisa digunakan untuk mengindentifikasi model learning yang dipakai disetiap tahapan perkembangan evaluasi (Parsons,2005:597-598), yaitu:
- Model Singgle-Loop Learning: Dalam model ini individual digerakkan oleh keinginan untuk mengejar tujuan mereka, mengurangi ketergantungan dengan pihak lain, menjaga ide dan gagasan dan melindungi diri dari perubahan. Model ini menggunakan learning yang self-oriented dan self-contained. Tujuannya untuk individual defense, ini bertolak belakang dengan salah satu faktor yang mendukung berjalannya POL yaitu sikap keterbukaan (openness) yang bisa menghasilkan konformitas, ketidakpercayaan (mistrust), infleksibilitas (inflexsibility), dan self-sealing sehingga sangat sulit sekali untuk menghasilkan suatu perubahan (change) dan adaptasi. Model inilah seringkali mendominasi dalam organisasi publik. Penulis berkesimpulan bahwa dari generasi pertama hingga generasi keempat masih menggunakan model single loop learning- yang tidak mempertanyakan desain yang pokok, sasaran dan aktivitas dari organisasi itu sendiri (Argyris,1976). Sabatier 1993:19) menyebut model ini sebagai instrumental learning, pembelajaran yang masih bersifat teknis mengenai instrumen dan efek bagaimana sebuah instrumen bisa dikembangkan untuk mencapai tujuan.
- Model Double-Loop Learning: merupakan teori baru yang diusulkan Argyris dan Schön untuk menjawab permasalahan dari model sebelumnya. Model ini melibatkan usaha pengembangan pembuatan keputusan berdasarkan informasi yang diperoleh secara terbuka, dan dilakukan secara kolektif dengan pihak lain (collective learning)-sebagai bentuk dari policy learning. Menggunakan penelitian dan restrukturisasi norma, stratedi, dan asumsi guna mendorong sikap responsif dan lebih flexible dalam menerima suatu perubahan. Ini merupakan salah satu bentuk kekecewaan terhadap teknologi, teknokrasi, bigness, dan sentralisme, dikemukakan oleh Friedmann dan Parsons pada 1976. Dari situ muncullah pemikiran yang menekankan aspek nilai-nilai smallness, skala manusia, komunitas dan conviviality (Kohr,1975; Schumacher,1973; Illich,1975). Sabatier (1993:19) mengidentifikasi model ini ke dalam dua tipe learning yaitu conceptual learning dan social learning dimana norma, tanggung jawab, tujuan-tujuan, kerangka isu yang disertai dengan pengembangan atau adopsi konsep, prinsip dan images yang baru diikutsertakan dalam melakukan evaluasi kebijakan. Konsep fleksibelitas dalam menerima perubahan sangat diperhatikan. Pemikiran ini mulai muncul pada generasi ke empat.
Dalam ilmu kebijakan, learning berhubungan dengan kebijakan-kebijakan. Policy-oriented learning (POL) memiliki karakteristik pada suatu proses yang berkelanjutan (on going process). Berdasarkan literatur, policy-oriented learning menyiratkan perubahan kebijakan seperti halnya perbaikan kebijakan. Berikut beberapa definisi dari policy-oriented learning:
- Policy-oriented learning refers to “relatively enduring alterations of thought or behavioral intentions that result from experience and/or new information and that are concerned with the attainment or revision of policy objectives” (Sabatier & Jenkins-Smith,1998:123).
- Policy-oriented learning is the interactive process by which an increase in knowledge and insights leads to changes in the definition of a policy issue, the policy objectives and/or the policy instruments; the new policy is supported at least as much as before by stakeholders; an interactive process that leads to a change in thoughts about policy, and becomes visible by an improvement of the policy theory and a strenghtening of the legitimacy of policies' (Verbeeten, 1999).
Dapat dilihat learning memiliki dua komponen yaitu a) komponen analitik, memperhatikan munculnya pertanyaan to what extent learning took place. b) komponen normative, bahwa learning dianggap sebagai sesuatu yang baik, karena melibatkan satu perbaikan. Di dalam advocacy coalitions (ACs) ada banyak kesepakatan yang memuat inti-inti kebijakan namun sedikit pada aspek sekunder. Perubahan atau modifikasi lebih mungkin terjadi di dalam aspek sekunder dari kebijakan. Pada level sekunder perubahan muncul sebagai akibat dari policy-oriented learning (POL) baik di dalam maupun diluar ACs.
Fokus POL ada pada pembelajaran yang sifatnya berkelompok (collective action) (Henry,2003:303-304). Meskipun secara prinsip learning berlangsung pada tingkatan kolektif, hal tersebut memungkinkan beberapa individu mengembangkan pemikirannya ke dalam sebuah proses komunikasi. POL seringkali dilihat sebagai salah satu factor yang menjelaskan perubahan kebijakan (policy change) (Sabatier,1988:130; Van de Graff et all,1996:13). Disamping learning, policy change juga merupakan hasil dari proses kekuasaan. POL sendiri memiliki dua karakteristik, yaitu:
1) Konflik
Ada sejumlah hal penting dari konflik yang perlu dipelajari. Konflik diperlukan untuk mendeteksi dan mengoreksi tingkat kesalahan dari teori kebijakan, konflik tidak seharusnya diabaikan (Argyris&Schön,1978:312-313). Walaupun konflik diperlukan dalam situasi POL dan solution-oriented learning (SOL), namun tidak untuk legitimacy-oriented learning (LOL). Ketika konflik terhambat (macet),peluang untuk mencapai kesepakatan dalam mendefinisikan permasalahan berikut solusinya akan mengalami kemerosotan secara dramatis. Itu sebabnya, konflik harus saling berkaitan (Lee,1993:10,88) atau harus ada penengah di level konflik (Sabatier&Smith,1993:50). Konflik bisa dibatasi melalui resolusi debat informal (Lee,1993:104). Tujuannya bukan untuk mengakhiri konflik, tetapi untuk merestrukturisasi konflik tersebut agar kebijakan menjadi workable (dapat dilaksanakan). Meskipun demikian, ada dua instrument yang bisa digunakan untuk membatasi konflik yaitu a) dengan membangun consensus (consensus-building), yang nantinya berkontribusi POL dan SOL, dan b) settling, untuk memperoleh kesepakatan apa yang menjadi penyebab konflik, berkontribusi pada LOL dan POL. Adanya intervensi pihak ketiga dalam proses konflik bisa memperbaiki komunikasi antar pihak yang berkonflik, memudahkan negosiasi atau justru menyumbangkan sebuah keputusan.
2) Ketersediaan informasi (ilmiah) baru
Adanya berbagai informasi baru tersebut bisa mengarah kepada problem-oriented learning seperti halnya SOL. Mekanisme yang bisa dipakai untuk memperoleh informasi baru tersebut yaitu melalui penelitian ilmiah (yang seringkali dilakukan oleh pihak yang concern terhadap perkembangan kebijakan) dan monitoring (pemantauan) yang bisa dilakukan oleh semua stakeholders yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung. Tujuannya adalah memberikan pemahaman yang mendalam mengenai situasi yang sebenarnya. Kurangnya informasi justru akan menghambat berjalannya POL (Argyris& Schön,1978:85).
3) Feedback (umpan balik)
Artinya informasi mengenai dampak (efek) dari kebijakan akan dikembalikan kepada pada poliy-makers. Adanya feedback bisa membantu jalannya evaluasi kebijakan. Karena evaluasi itu sendiri, memberikan pengertian atau pemahaman yang mendalam mengenai hubungan antara ukuran kebijakan yang diambil (berhasil atau tidaknya) dengan situasi atau kondisi yang sebenarnya (the actual situation).
4) Komunikasi
Agar tercipta suatu proses atau mekanisme dialog (komunikasi dua arah), para aktor (stakeholder) yang memiliki perbedaan dalam hal tujuan serta kepentingan perlu saling bertukar informasi atau berkomunikasi (Van de Knapp,1997:66). Pada proses dialogis tersebut, seluruh stakeholder harus dihadirkan sebagai perwujudan representasi dari semua pihak. Semua keluhan, informasi, serta pendapat harus dipaparkan sebagai bahan pemikiran dan pertimbangan bersama dari semua pihak. Tujuannya adalah terciptanya sebuah proses learning. Pada forum tersebut diharapkan para aktor terlibat dalam sebuah analytical debate (Sabatier&Smith,1993:45) melalui mekanisme konsultasi dan pengajuan saran atau pendapat. Konsultasi disini tidak bermaksud untuk menghasilkan suatu keputusan, tetapi saling bertukar ide atau gagasan yang nantinya bisa mengarah pada perbaikan dan peningkatan mutu kebijakan. Saran lebih kepada posisi kebijakan dari para aktor yang seringkali adalah orang-orang yang expert dibidangnya masing-masing.
5) Keterbukaan (openness)
Seorang aktor perlu memiliki keinginan untuk mengubah pandangan-pandangannya karena faktanya banyak dari mereka seringkali tidak memiliki keinginan untuk mengubah pandangan-pandangannya terhadap suatu hal. POL seringkali terhambat karena adanya persepsi atau pemikiran yang sifatnya menyimpang yang sama sekali tidak menyentuh substansi permasalahan. Sikap keterbukaan juga terhambat oleh kelompok pemikir dan kebiasaan untuk bertahan dengan sikap masing-masing (Van deer Knapp,1997:66). Proses POL, terutama LOL akan selalu dihambat oleh kekuasaan (Glasbergen,1996:176). Kekuasaan bisa digunakan ketika hubungan diantara para actor (stakeholders) berbeda satu sama lain, ada salah satu actor yang kekuasaannya jauh lebih besar daripada yang lain. Pada situasi seperti ini, para stakeholders cenderung memilih untuk tidak saling bergantung. Ketika perubahan ide/gagasan atau perilaku berasal dari pengaruh kekuasaan, maka tidak akan bisa menemukan atau melakukan proses learning itu sendiri. Karena pada dasarnya, makna dari learning itu sendiri adalah perubahan pola pikir tanpa ada tekanan dari luar, dari pihak manapun.
Dari faktor-faktor yang telah dipaparkan diatas, ada lima kondisi yang harus diperhatikan dari policy-oriented learning itu sendiri antara lain:
Fokus POL ada pada pembelajaran yang sifatnya berkelompok (collective action) (Henry,2003:303-304). Meskipun secara prinsip learning berlangsung pada tingkatan kolektif, hal tersebut memungkinkan beberapa individu mengembangkan pemikirannya ke dalam sebuah proses komunikasi. POL seringkali dilihat sebagai salah satu factor yang menjelaskan perubahan kebijakan (policy change) (Sabatier,1988:130; Van de Graff et all,1996:13). Disamping learning, policy change juga merupakan hasil dari proses kekuasaan. POL sendiri memiliki dua karakteristik, yaitu:
- POL berimplikasi pada sebuah perubahan gagasan atau ide mengenai kebijakan yang pada akhirnya berkontribusi pada proses kebijakan (Eberg,1997:23-24; Sabatier,1993:30). Perubahan tersebut harus dilakukan dengan mengoreksi tingkat kesalahan (correction of errors) dari kebijakan yang ada (Argyris&Schön,1978:2; Van der Knaap,1997:30).
- POL terlibat dalam sebuah perbaikan (improvement). Perbaikan tersebut ditandai dengan adanya perbaikan dalam teori kebijakan (pemikiran yang merupakan pondasi dari kebijakan), serta penguatan dari legitimasi kebijakan (kebijakan tersebut diterima oleh orang-orang atau kelompok yang terlibat (stakeholders).
1) Konflik
Ada sejumlah hal penting dari konflik yang perlu dipelajari. Konflik diperlukan untuk mendeteksi dan mengoreksi tingkat kesalahan dari teori kebijakan, konflik tidak seharusnya diabaikan (Argyris&Schön,1978:312-313). Walaupun konflik diperlukan dalam situasi POL dan solution-oriented learning (SOL), namun tidak untuk legitimacy-oriented learning (LOL). Ketika konflik terhambat (macet),peluang untuk mencapai kesepakatan dalam mendefinisikan permasalahan berikut solusinya akan mengalami kemerosotan secara dramatis. Itu sebabnya, konflik harus saling berkaitan (Lee,1993:10,88) atau harus ada penengah di level konflik (Sabatier&Smith,1993:50). Konflik bisa dibatasi melalui resolusi debat informal (Lee,1993:104). Tujuannya bukan untuk mengakhiri konflik, tetapi untuk merestrukturisasi konflik tersebut agar kebijakan menjadi workable (dapat dilaksanakan). Meskipun demikian, ada dua instrument yang bisa digunakan untuk membatasi konflik yaitu a) dengan membangun consensus (consensus-building), yang nantinya berkontribusi POL dan SOL, dan b) settling, untuk memperoleh kesepakatan apa yang menjadi penyebab konflik, berkontribusi pada LOL dan POL. Adanya intervensi pihak ketiga dalam proses konflik bisa memperbaiki komunikasi antar pihak yang berkonflik, memudahkan negosiasi atau justru menyumbangkan sebuah keputusan.
2) Ketersediaan informasi (ilmiah) baru
Adanya berbagai informasi baru tersebut bisa mengarah kepada problem-oriented learning seperti halnya SOL. Mekanisme yang bisa dipakai untuk memperoleh informasi baru tersebut yaitu melalui penelitian ilmiah (yang seringkali dilakukan oleh pihak yang concern terhadap perkembangan kebijakan) dan monitoring (pemantauan) yang bisa dilakukan oleh semua stakeholders yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung. Tujuannya adalah memberikan pemahaman yang mendalam mengenai situasi yang sebenarnya. Kurangnya informasi justru akan menghambat berjalannya POL (Argyris& Schön,1978:85).
3) Feedback (umpan balik)
Artinya informasi mengenai dampak (efek) dari kebijakan akan dikembalikan kepada pada poliy-makers. Adanya feedback bisa membantu jalannya evaluasi kebijakan. Karena evaluasi itu sendiri, memberikan pengertian atau pemahaman yang mendalam mengenai hubungan antara ukuran kebijakan yang diambil (berhasil atau tidaknya) dengan situasi atau kondisi yang sebenarnya (the actual situation).
4) Komunikasi
Agar tercipta suatu proses atau mekanisme dialog (komunikasi dua arah), para aktor (stakeholder) yang memiliki perbedaan dalam hal tujuan serta kepentingan perlu saling bertukar informasi atau berkomunikasi (Van de Knapp,1997:66). Pada proses dialogis tersebut, seluruh stakeholder harus dihadirkan sebagai perwujudan representasi dari semua pihak. Semua keluhan, informasi, serta pendapat harus dipaparkan sebagai bahan pemikiran dan pertimbangan bersama dari semua pihak. Tujuannya adalah terciptanya sebuah proses learning. Pada forum tersebut diharapkan para aktor terlibat dalam sebuah analytical debate (Sabatier&Smith,1993:45) melalui mekanisme konsultasi dan pengajuan saran atau pendapat. Konsultasi disini tidak bermaksud untuk menghasilkan suatu keputusan, tetapi saling bertukar ide atau gagasan yang nantinya bisa mengarah pada perbaikan dan peningkatan mutu kebijakan. Saran lebih kepada posisi kebijakan dari para aktor yang seringkali adalah orang-orang yang expert dibidangnya masing-masing.
5) Keterbukaan (openness)
Seorang aktor perlu memiliki keinginan untuk mengubah pandangan-pandangannya karena faktanya banyak dari mereka seringkali tidak memiliki keinginan untuk mengubah pandangan-pandangannya terhadap suatu hal. POL seringkali terhambat karena adanya persepsi atau pemikiran yang sifatnya menyimpang yang sama sekali tidak menyentuh substansi permasalahan. Sikap keterbukaan juga terhambat oleh kelompok pemikir dan kebiasaan untuk bertahan dengan sikap masing-masing (Van deer Knapp,1997:66). Proses POL, terutama LOL akan selalu dihambat oleh kekuasaan (Glasbergen,1996:176). Kekuasaan bisa digunakan ketika hubungan diantara para actor (stakeholders) berbeda satu sama lain, ada salah satu actor yang kekuasaannya jauh lebih besar daripada yang lain. Pada situasi seperti ini, para stakeholders cenderung memilih untuk tidak saling bergantung. Ketika perubahan ide/gagasan atau perilaku berasal dari pengaruh kekuasaan, maka tidak akan bisa menemukan atau melakukan proses learning itu sendiri. Karena pada dasarnya, makna dari learning itu sendiri adalah perubahan pola pikir tanpa ada tekanan dari luar, dari pihak manapun.
Dari faktor-faktor yang telah dipaparkan diatas, ada lima kondisi yang harus diperhatikan dari policy-oriented learning itu sendiri antara lain:
- Experiencing mutual dependence (stakeholders perlu untuk mengakui bahwa mereka memerlukan satu sama lain untuk mewujudkan sasaran yang mereka inginkan);
- A constructive attitude (stakeholders perlu saling mendengarkan dan memberikan masukan satu sama lain);
- Bound conflict (konflik-konflik yang ada seharusnya diperluas);
- A structured provision of information (informasi harus tersedia dan bisa diperoleh dengan mudah bagi semua stakeholders);
- Involvement of all relevant parties (semua stakeholders harus bisa mengambil bagian atau ikut terlibat di dalam proses kebijakan), (Verbeeten,1999).
Bila ada yang butuh bantuan menyangkut referensi, bisa langsung hubungi saya teman-teman... berbagi ilmu dan informasi itu wajib hukumnya...
ReplyDelete