Seperti janji sebelumnya, maka kali ini saya ingin mengangkat mengenai salah satu teori dari Administrasi Publik yaitu Advocacy Coalition Framework (ACF). ACF ini memiliki nilai historis bagi kelulusan saya dalam menyelesaikan studi S1. Sejauh yang saya ketahui kajian mengenai ACF masih minim sekali saya temukan publikasinya di Indonesia, baik itu dalam bentuk artikel, essai bahkan jurnal. Kalaupun ada, tentu ditujukan untuk kalangan terbatas saja. Masih terbatasnya referensi tentang teori ACF tersebut, akhirnya membuat saya berpikiran untuk membaginya secara luas kepada rekan-rekan yang mungkin saat ini mengalami kesulitan referensi. Agar lebih mudah dicerna dan dipahami, maka uraian mengenai Teori ACF ini saya sesuaikan dengan kajian teoritik yang sudah terlebih dahulu saya paparkan pada skripsi saya dengan tema Kebijakan Sumberdaya Air. Berikut uraiannya (^_~)...
Analisis Kebijakan Publik dalam Konteks Advocacy Coalition Framework (ACF)
Diantara beberapa pendekatan sub-sistem yang baru guna menganalisa agenda dan formasi kebijakan, advocacy coalitions adalah satu dari pendekatan sub-sistem selain policy networks and communities, policy streams, dan punctuated equilibrium. Setelah mengkaji beberapa literatur sebelumnya, ACF sebagian besar pernah diaplikasikan pada kebijakan-kebijakan di sektor lingkungan dan energi. Pada jurnal-jurnal ilmiah internasional, ACF seringkali digunakan untuk menganalisa permasalahan lingkungan termasuk air seperti yang telah dilakukan oleh Fulton dan Weimer (1990), Mintrom dan Vergari (1996), Elison (1998), Grant Jordan (1998), Jan L; B. Flora, Cornelia; Garcia Bravo, Mary; Fernandez-Baca, Edith (2000) dan masih banyak lagi.
ACF menggambarkan terjadinya perubahan kebijakan (sifatnya jangka panjang) sebagai hasil dari pergeseran policy-oriented beliefs dan policy learning. Kerangka ini, dikembangkan melalui upaya kolaboratif Sabatier and Jenkins-Smith (1993,1999) yang memandang bahwa proses kebijakan is not simply the result of competition among various interests in which financial resources and institutional rules are dominant, but is also shaped by policy-oriented beliefs and policy learning. ACF, memberikan kemungkinan the examination of policy change yang ditentukan oleh struktur kepercayaan dari para aktor kebijakan dan dipengaruhi oleh goncangan-goncangan eksternal (seperti trend ekonomi-sosial) dan policy learning antara para aktor melalui sebuah policy community.
Sabatier (Parsons,2000,h.197) berpandangan bahwa pemikiran tersebut adalah hasil sintesa dari beberapa key idea bahwa:
ACF merupakan salah satu model kausal pembuatan kebijakan publik yang menawarkan suatu cara guna menjembatani kesenjangan antara formulasi dan implementasi kebijakan dengan menguji aktivitas subsistem kebijakan yang memberikan beberapa hipotesis mengenai sistem kepercayaan, stabilitas koalisi, perubahan kebijakan dan pembelajaran kebijakan. Pada awalnya, Sabatier mengusulkan delapan hipotesis kebijakan namun setelah mengikuti kajian empiris secara keseluruhan, Sabatier dan Jenkins-Smith menyediakan dua belas hipotesis yang secara spesifik dan umum berhubungan dengan ACF, berikut penjabarannya:
Hypotheses Concerning Advocacy Coalitions
Dari semua hipotesis diatas, hendaknya disesuaikan dengan konteks kajian empiris (kebutuhan) yang akan digali.
Unit utama pengambil keputusan dalam ACF adalah policy subsystem. Sub-sistem kebijakan ini terdiri dari semua pihak yang memainkan bagian dalam penciptaan, diseminasi, dan evaluasi kebijakan yang dalam penelitian ini mencakup unsur-unsur yang bisa dibedakan berdasarkan keyakinan dan sumberdaya yang tersedia. Unsur-unsur tersebut antara lain iron triangle, kelompok kepentingan, birokrat dan politisi, analis akademik, think thank, peneliti sendiri dan aktor pemerintahan lainnya. Sabatier dan Jenkins-Smith (1993) lebih lanjut menyatakan bahwa subsistem kebijakan ini dapat dijelaskan dengan melihat aksi dalam koalisi advokasi (Advocacy Coalition). Didalamnya terdapat sejumlah dan diwarnai oleh banyak aktor kebijakan yang tidak hanya dari unsur pemerintah tetapi juga dari non-pemerintah (masyarakat) untuk memengaruhi kebijakan yang kemudian di dalam policy arena terdapat dua atau lebih koalisi yang memiliki belief yang berbeda atas konflik kepentingan air yang timbul dan menuntut untuk dilakukannya perubahan.
Kerangka ini menggunakan pola belief system daripada konsep interests sebagai fokus karena beliefs lebih inklusif dan mampu dibuktikan (Sabatier,1988,h.142). Ada tiga belief system yang menjadi basis dari ACF, yakni:
Selain karateristik diatas, karakteristik kedua adalah pengaruh berubahnya kondisi eksternal suatu policy subsystem. Ini terjadi karena perubahan kondisi sosial-ekonomi, perubahan terhadap prioritas kebijakan atau hal eksternal lainnya. Karena pada dasarnya, suatu kondisi tidak akan berubah jika tidak ada dorongan eksternal yang menghasilkan pergeseran suatu kebijakan. Dalam ACF, untuk sampai pada proses perubahan kebijakan (policy change) kondisi tersebut sangat diperlukan. Faktor eksternal bisa berpotensi dalam menentukan suatu perubahan kebijakan yang nantinya akan dimonitor dari waktu ke waktu; dijadikan ukuran yang berasal dari kemungkinan dan kekuatan dorongan potensial dari eksternal. Dan sebagai gantinya adalah terjadinya "perubahan kebijakan yang katalitis."
Karakteristik ketiga adalah terjadinya policy-oriented learning (POL). Berdasarkan literatur, POL menyiratkan perubahan kebijakan seperti halnya perbaikan kebijakan. Perbaikan tersebut ditandai dengan adanya perbaikan dalam teori kebijakan (pemikiran yang merupakan pondasi dari kebijakan), serta penguatan dari legitimasi kebijakan (kebijakan tersebut diterima oleh orang-orang atau kelompok yang terlibat (stakeholders). POL berimplikasi pada sebuah perubahan gagasan atau ide mengenai kebijakan yang pada akhirnya berkontribusi pada proses kebijakan (Eberg,1997,h.23-24; Sabatier,1993,h.30).
Perubahan tersebut harus dilakukan dengan mengoreksi tingkat kesalahan (correction of errors) dari kebijakan yang ada (Argyris,1978,h.2; Knaap,1997,h.30). Hal ini biasanya menjadikan wilayah kebijakan itu penuh konflik dan tuntutan dari subsystem yang ada. Koalisi-koalisi yang ada akan menggunakan banyak cara dan instrumen untuk bisa memengaruhi kebijakan. Ada lima kondisi yang harus diperhatikan dari policy-oriented learning itu sendiri antara lain:
Sekian uraian singkat teori Advocacy Coalition Framework. Semoga bermanfaat (^_~)
Analisis Kebijakan Publik dalam Konteks Advocacy Coalition Framework (ACF)
…the ACF gives researchers an opportunity to study subsystem dynamics through at least one formulation/implementation/reformulation cycle and provides a benchmark, policy change, for understanding the ramifications of challenge to the stability of subsystems” (Mazmanian & Sabatier, 1989)Beberapa penulis (Bergeron,1998; Fenger,2001; Schlager,1995) menyatakan bahwa ACF adalah salah satu kerangka analitis yang paling menjanjikan di dalam analisa kebijakan (Gagnon,2007,h.44). Kerangka tersebut merupakan suatu sintesa dari berbagai pendekatan (Parsons,1995) yang meliputi siklus kebijakan yang secara lengkap, dari pengembangan hingga amandemen-amandemen terakhir. Parsons (2000,h.37) memaparkan bahwa ada enam pendekatan yang bisa digunakan untuk melihat dan menjelaskan bagaimana konteks politis dalam pembuatan kebijakan yaitu stagist, pluralist-elitist, neo-marxist, sub-system dan policy discources approaches. Penelitian kali ini akan mengacu pada sub-system approaches yang menganalisa pembuatan kebijakan ke dalam pola metaphor baru seperti networks, communities dan sub-system (dikembangkan oleh Heclo,1978; Richardson dan Jordan,1979; Rhodes,1988; Atkinson dan Coleman,1992; Smith,1993, Baumgartner dan Jones,1993; Sabatier dan Jenkin-Smith,1993).
Diantara beberapa pendekatan sub-sistem yang baru guna menganalisa agenda dan formasi kebijakan, advocacy coalitions adalah satu dari pendekatan sub-sistem selain policy networks and communities, policy streams, dan punctuated equilibrium. Setelah mengkaji beberapa literatur sebelumnya, ACF sebagian besar pernah diaplikasikan pada kebijakan-kebijakan di sektor lingkungan dan energi. Pada jurnal-jurnal ilmiah internasional, ACF seringkali digunakan untuk menganalisa permasalahan lingkungan termasuk air seperti yang telah dilakukan oleh Fulton dan Weimer (1990), Mintrom dan Vergari (1996), Elison (1998), Grant Jordan (1998), Jan L; B. Flora, Cornelia; Garcia Bravo, Mary; Fernandez-Baca, Edith (2000) dan masih banyak lagi.
ACF menggambarkan terjadinya perubahan kebijakan (sifatnya jangka panjang) sebagai hasil dari pergeseran policy-oriented beliefs dan policy learning. Kerangka ini, dikembangkan melalui upaya kolaboratif Sabatier and Jenkins-Smith (1993,1999) yang memandang bahwa proses kebijakan is not simply the result of competition among various interests in which financial resources and institutional rules are dominant, but is also shaped by policy-oriented beliefs and policy learning. ACF, memberikan kemungkinan the examination of policy change yang ditentukan oleh struktur kepercayaan dari para aktor kebijakan dan dipengaruhi oleh goncangan-goncangan eksternal (seperti trend ekonomi-sosial) dan policy learning antara para aktor melalui sebuah policy community.
Sabatier (Parsons,2000,h.197) berpandangan bahwa pemikiran tersebut adalah hasil sintesa dari beberapa key idea bahwa:
- Proses kebijakan secara keseluruhan dapat dipahami dalam konteks policy networks dan communities (Heclo,1974; Kingdon,1984; Cook dan Skogan,1991);
- Analisa kebijakan memiliki fungsi enlightenment jangka panjang yang secara perlahan-lahan mengubah argumen yang menyelimuti problem kebijakan (Weiss,1977a; Nelkin,1979; Mazur,1981);
- Keyakinan, nilai dan gagasan adalah hal yang sangat penting tetapi seringkali diabaikan dalam proses pembuatan kebijakan (Pressman dan Wildavsky,1973; Wildavsky,1987; Majone,1980);
- Factor social ekonomi berpengaruh besar terhadap pembuatan dan outcome kebijakan (Heclo,1974; Hofferbert,1974);
- Belief systems elit memiliki struktur atau hirarki (March dan Simon,1958; Putman,1976).
ACF merupakan salah satu model kausal pembuatan kebijakan publik yang menawarkan suatu cara guna menjembatani kesenjangan antara formulasi dan implementasi kebijakan dengan menguji aktivitas subsistem kebijakan yang memberikan beberapa hipotesis mengenai sistem kepercayaan, stabilitas koalisi, perubahan kebijakan dan pembelajaran kebijakan. Pada awalnya, Sabatier mengusulkan delapan hipotesis kebijakan namun setelah mengikuti kajian empiris secara keseluruhan, Sabatier dan Jenkins-Smith menyediakan dua belas hipotesis yang secara spesifik dan umum berhubungan dengan ACF, berikut penjabarannya:
Hypotheses Concerning Advocacy Coalitions
- On major controversies within a policy sub-system when core beliefs are in dispute, the line-up of allies and opponents tends to be rather stable over periods of a decade or so' (Sabatier,1993,h.27);
- Actors within an advocacy coalition will show substantial consensus on issues pertaining to the policy core, although less so on secondary aspects' (Sabatier,1993,h.32);
- An actor (or coalition) will give up secondary aspects of a belief system before acknowledging weaknesses in the policy core' (Sabatier,1993,h.33);
- The core (basis attributes) of a governmental program in a specific jurisdiction will not be significantly revised as long as the sub-system advocacy coalition which instituted the program remains in power within that jurisdiction--except where the change is imposed by a hierarchically superior jurisdiction' (Sabatier and Jenkins-Smith,1993,h.217);
- Changing the policy core attributes of a government action program requires both (1) significant perturbations external to the sub-system (eg changes in socio-economic conditions, system-wide governing coalitions, or policy outputs from other sub-systems) and (2) skillful exploitation of those opportunities by the (previously) minority coalition within the subsystem' (Sabatier and Jenkins-Smith,1993,h.222);
- Policy-Oriented Learning (POL) across belief systems is most likely when there is an intermediate level of informed conflict between the two. In such a situation, it is likely that: 1) each coalition has the technical resources to engage in such a debate; and 2) the conflict be between secondary aspects of one belief system and core elements of the other or, alternatively, between important secondary aspects of the two belief systems' (Jenkins-Smith and Sabatier,1993,h.50);
- Problems for which accepted quantitative data and theory exist conducive to policy-oriented learning than those in which data and theory are genen qualitative, quite subjective, or altogether lacking' (Jenkins-Smith and Sabatier,1993,h.52);
- Problems involving natural systems are more conducive to poli oriented learning than those involving purely social or political systems because in former many of the critical variables are not themselves active strategists and control experimentation is more feasible' (Jenkins-Smith and Sabatier,1993,h.52);
- Policy-oriented learning across belief systems is most likely when tb exists a forum that is 1) prestigious enough to force professionals from differ coalitions to participate; and 2) dominated by professional norms' (Jenkins-Smith dan Sabatier,1993,h.54);
- Policy learning is more likely when technical information from natural systems is involved;
- Within a coalition, administrative agencies will usually advocate in centrist positions than their interest group allies' (Sabatier and Jenkins-Smith,1993,h.213); and
- Even when the accumulation of technical information does not chat the views of the opposing coalition, it can have important impacts on policy-at leas' the short term-by altering the views of policy brokers or other important governm officials' (Sabatier and Jenkins-Smith,1993,h.219).
Dari semua hipotesis diatas, hendaknya disesuaikan dengan konteks kajian empiris (kebutuhan) yang akan digali.
Unit utama pengambil keputusan dalam ACF adalah policy subsystem. Sub-sistem kebijakan ini terdiri dari semua pihak yang memainkan bagian dalam penciptaan, diseminasi, dan evaluasi kebijakan yang dalam penelitian ini mencakup unsur-unsur yang bisa dibedakan berdasarkan keyakinan dan sumberdaya yang tersedia. Unsur-unsur tersebut antara lain iron triangle, kelompok kepentingan, birokrat dan politisi, analis akademik, think thank, peneliti sendiri dan aktor pemerintahan lainnya. Sabatier dan Jenkins-Smith (1993) lebih lanjut menyatakan bahwa subsistem kebijakan ini dapat dijelaskan dengan melihat aksi dalam koalisi advokasi (Advocacy Coalition). Didalamnya terdapat sejumlah dan diwarnai oleh banyak aktor kebijakan yang tidak hanya dari unsur pemerintah tetapi juga dari non-pemerintah (masyarakat) untuk memengaruhi kebijakan yang kemudian di dalam policy arena terdapat dua atau lebih koalisi yang memiliki belief yang berbeda atas konflik kepentingan air yang timbul dan menuntut untuk dilakukannya perubahan.
Kerangka ini menggunakan pola belief system daripada konsep interests sebagai fokus karena beliefs lebih inklusif dan mampu dibuktikan (Sabatier,1988,h.142). Ada tiga belief system yang menjadi basis dari ACF, yakni:
- Deep core yang merefleksikan ontologi dasar dan keyakinan normatif dari semua water policy subsystem. Gunanya adalah memberikan pemahaman mendasar mengenai values terhadap peran dan fungsi sumberdaya air.
- Policy core merupakan kondisi dan strategi dasar kebijakan sebuah koalisi. Ini menunjukkan komitmen-komitmen dasar normatif dari water policy subsystem itu sendiri sehingga menyebabkan berkembangnya berbagai persepsi di seluruh sub-sistem dan domain kebijakan air. Sistem ini dijadikan perekat yang mengikat semua pihak untuk masuk dalam permasalahan kebijakan.
- Secondary aspects, merupakan instrumen kebijakan yang diperlukan untuk mengimplementasikan policy core. Pada level ini seringkali terjadi perubahan kebijakan.
Selain karateristik diatas, karakteristik kedua adalah pengaruh berubahnya kondisi eksternal suatu policy subsystem. Ini terjadi karena perubahan kondisi sosial-ekonomi, perubahan terhadap prioritas kebijakan atau hal eksternal lainnya. Karena pada dasarnya, suatu kondisi tidak akan berubah jika tidak ada dorongan eksternal yang menghasilkan pergeseran suatu kebijakan. Dalam ACF, untuk sampai pada proses perubahan kebijakan (policy change) kondisi tersebut sangat diperlukan. Faktor eksternal bisa berpotensi dalam menentukan suatu perubahan kebijakan yang nantinya akan dimonitor dari waktu ke waktu; dijadikan ukuran yang berasal dari kemungkinan dan kekuatan dorongan potensial dari eksternal. Dan sebagai gantinya adalah terjadinya "perubahan kebijakan yang katalitis."
Karakteristik ketiga adalah terjadinya policy-oriented learning (POL). Berdasarkan literatur, POL menyiratkan perubahan kebijakan seperti halnya perbaikan kebijakan. Perbaikan tersebut ditandai dengan adanya perbaikan dalam teori kebijakan (pemikiran yang merupakan pondasi dari kebijakan), serta penguatan dari legitimasi kebijakan (kebijakan tersebut diterima oleh orang-orang atau kelompok yang terlibat (stakeholders). POL berimplikasi pada sebuah perubahan gagasan atau ide mengenai kebijakan yang pada akhirnya berkontribusi pada proses kebijakan (Eberg,1997,h.23-24; Sabatier,1993,h.30).
Perubahan tersebut harus dilakukan dengan mengoreksi tingkat kesalahan (correction of errors) dari kebijakan yang ada (Argyris,1978,h.2; Knaap,1997,h.30). Hal ini biasanya menjadikan wilayah kebijakan itu penuh konflik dan tuntutan dari subsystem yang ada. Koalisi-koalisi yang ada akan menggunakan banyak cara dan instrumen untuk bisa memengaruhi kebijakan. Ada lima kondisi yang harus diperhatikan dari policy-oriented learning itu sendiri antara lain:
- Experiencing mutual dependence (stakeholders perlu untuk mengakui bahwa mereka memerlukan satu sama lain untuk mewujudkan sasaran yang mereka inginkan);
- A constructive attitude (stakeholders perlu saling mendengarkan dan memberikan masukan satu sama lain);
- Bound conflict (konflik-konflik yang ada seharusnya diperluas);
- A structured provision of information (informasi harus tersedia dan bisa diperoleh dengan mudah bagi semua stakeholders); dan
- Involvement of all relevant parties (semua stakeholders harus bisa mengambil bagian atau ikut terlibat di dalam proses kebijakan) (Verbeeten,1999,h.3-6).
Sekian uraian singkat teori Advocacy Coalition Framework. Semoga bermanfaat (^_~)
Mantab pit..., ini bs jadi benih2 intelektual yang berbeda. Bs nanti q share tulisan ya...
ReplyDeletesip sip, semakin banyak sharing semakin banyak pengetahun yang bisa diungkap dan dipahami,,,
ReplyDeleteBila ada yang butuh bantuan menyangkut referensi, bisa langsung hubungi saya teman-teman... berbagi ilmu dan informasi itu wajib hukumnya..
ReplyDeleteboleh minta alamat email? tks email
ReplyDeleteboleh banget, bisa di nurfitria86@gmail.com :D
ReplyDeletesalam kenal mba..daftar pustakanya gak dilampirin sekalian mba? kan bermanfaat kalau ada yang mau cari literaturnya..:D, terimakasih..
ReplyDeletemakasih mbak pit,, cukup membantu dalam mengerjakan tugas,,,
ReplyDeletemantap Mbak,, Oya,, mbak ada buku tentang ACF itu nggak?
ReplyDeletesaya tertarik untuk penelitian tentang itu, tp sumbernya masih terbatas,,, kalau ada, boleh nggak share buat aku.
kalau berkenan bisa kontak lewat FB: "Ely Goro Leba". atau mail: elkana.goroleba@yahoo.com. terima kasih sebelumnya
Mbak fit, kalo boleh mau minta sharing literatur yang berkaitan dengan ACF ini, setelah cari sana-sini memang sedikit literatur dalam negeri yg membahas ini ya :')
ReplyDeleteJika berkenan bisa kontak aku di avdvl@outlook.com
Terima kasih, Mbak!
hallo ka terimakasih bacaannya, apakah saya boleh meminta daftar pustakanya? terimakasih
ReplyDelete