Saturday, October 20, 2012

Barang Publik vs Eksternalitas

Barang Publik 

Lebih dari 50 tahun lalu, tepatnya pada 1954, Paul Samuelson mengenalkan konsep yang bernama pure public goods dan impure public goods.[1] Menurutnya, ada 2 syarat terpenuhinya barang publik yaitu pertama, non-rival dimana masyarakat (komunitas individu) dapat memanfaatkan barang bersama-sama. Kedua, non-exclusive dimana individu tidak perlu membayar sejumlah harga untuk menikmati barang publik tersebut. Namun demikian, kita juga tidak boleh lupa, ada barang publik yang bisa dimanfaatkan secara bersama-sama namun tetap harus membayar sejumlah biaya, misalnya ketika kita hendak naik sarana transportasi umum seperti bis dan kereta api. 
Paradoks :D
Sejatinya, efisiensi merupakan syarat yang harus dipertimbangkan dalam pengadaan barang publik. Pengadaan barang publik dapat efisien bila diketahui jumlah permintaan dan penawarannya. Realitanya, mengukur permintaan dan penawaran barang publik itu tidak semudah membalik telapak tangan. Adanya perbedaan persepsi dan harapan masyarakat menjadi sulit diukur karena derajat subyektifitasnya cenderung variatif dan inkonsisten. Disamping itu, adanya dominasi kelompok tertentu juga menjadi sebab sering tidak representatifnya pilihan/kebutuhan masyarakat. Karena yang diakomodir adalah kepentingan kelompok bukan masyarakat secara luas. Dalam ilmu ekonomi, kondisi seperti inilah yang menyebabkan kondisi pasar menjadi tidak efisien. 

Eksternalitas

Eksternalitas merupakan kerugian atau keuntungan diderita dan dinikmati pelaku ekonomi karena tindakan pelaku ekonomi lain yang tidak tercermin dalam harga pasar. Adanya eksternalitas menyebabkan terjadinya perbedaan antara manfaat (biaya) sosial dengan manfaat (biaya) individu sebagai hasil dari alokasi sumberdaya yang tidak efisien. 
Paradoks juga :p
Esternalitas negatif terjadi, saat MSC lebih besar dari biaya marjin individu, oleh karena itu tingkat output individu optimal lebih besar dari output sosial optimal. Dalam istilah lain eksternalitas negatif ini disebut sebagai public bad (disutility). Hal yang paling dirasakan masyarakat dari public bad ini adalah dampak negatif lingkungan (air, darat dan udara) sehingga menyebabkan biaya tinggi baik secara sosial maupun ekologi yang mengancam keberlangsungan ekosistem dan kesehatan manusia itu sendiri. Eksternalitas positif terjadi saat manfaat social marginal lebih besar dari biaya individu marginal (harga), oleh karena itu output individu optimal lebih kecil dari output sosial optimal. Dampak positif ini biasanya hanya dirasakan oleh para pelaku ekonomi. 

Intervensi Pemerintah atas Barang Publik dan Eksternalitas 

Stiglitz secara sederhananya menyatakan, dimana ada kegagalan pasar, maka disitulah barang publik hadir dan terlibat. Dan ketika situasi kegagalan pasar terjadi, maka disitulah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk intervensi. Dalam konteks kebijakan publik, hal yang paling menarik adalah pada skala internasional (international public goods), barang publik diharapkan dapat membantu meredusir angka kemiskinan. Terutama pada Negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Sejumlah karakter permasalahan yang menjadi akar kemiskinan hampir di seluruh Negara berkembang yaitu bidang kesehatan, lingkungan, teknologi informasi dan komunikasi modern, keamanan dan perdamaian dan stabilitas keuangan menjadi obyek dari IPG ini.[2] Namun, derajat permasalahan masing-masing negara menjadi nilai pembeda bagi publik internasional untuk mentransfer kebutuhan produksi barang publik, asistensi pengembangan model pembangunan termasuk bantuan luar negeri baik bilateral maupun multilateral. 

Pada skala nasional, pemerintah bisa melakukan banyak hal dalam mengupayakan sejumlah kebijakan terkait barang publik (yang menurut penyusun sekaligus bisa menjawab situasi eksternalitas) agar efisien, diantaranya (a) Kesehatan melalui program kegiatan pelayanan kesehatan preventif dan perbaikan sistem pelayanan kesehatan; (b) Lingkungan; upaya konservasi yang didukung oleh pendidikan berbasis lingkungan; (c) ICT: memaksimalkan pelayanan pendidikan dan membangun infrastruktur pendidikan; (d) Keamanan: meredusir tindakan kriminal dan penegakan hukum; dan (e) Tata kelola pemerintahan: melalui good governance dan reformasi pelayanan publik.[3]

Gregory N Mankiw (2004) juga menyatakan bahwa pada saat terjadi eksternalitas (negatif), pemerintah dapat menanggapinya melalui dua cara yaitu melalui command and control policy melalui subsidi dan pajak (Pigovian tax) dan sejumlah sanksi mengikat melalui UUPLH misalnya. Kedua melalui market based policy, dimana solusi diserahkan kepada swasta (dijelaskan dalam Coase Theorem).[4] Menurut penyusun, kasus Lapindo adalah contoh eksternalitas negatif dimana pemerintah bisa memberlakukan command and control policy dan market based policy secara bersamaan. 

Referensi: 
[1] Dapat dibaca kembali dalam tulisan Myles (2001:257) dan Stiglitz (2000:150). 
[2] Wolrd Bank (2001) yang dapat dibaca dalam buku International Public Goods: Incentives, Measurement and Financing (2002). Buku ini merupakan luaran dari Workshop bertajuk Global Public Policies and Program pada 11-12 Juli 2000 di Washington. Diedit oleh Marco Ferroni dan Ashokan Mody. 
[3] Dapat dibaca pada buku yang sama di Chapter 2: Defining International Public Goods hal.41 yang disusun oleh Morrissey, Oliver et al. 
[4] Yuniarti, Dini. 2009. Eksternalitas Lingkungan. Fakultas Ekonomi Universitas Ahmad Dahlan : Yogyakarta

No comments:

Post a Comment

Setelah baca postingan saya, jangan lupa tinggalin jejak ya. Terima kasih :))