Wednesday, October 3, 2012

Trans Jogja: Sarana Edukasi Masyarakat untuk Berperilaku Tertib

Ketika saya menginjakkan kaki di kota Yogyakarta, sarana transportasi yang pertama kali saya manfaatkan adalah Trans Jogja. Trans Jogja merupakan sarana transportasi massal berkonsep ekonomis, nyaman dengan fasilitas AC yang telah beroperasi sejak awal Maret 2008. Secara prinsip, pola operasional Trans Jogja ini hampir sama dengan Trans Jakarta sebagai salah satu program penerapan Bus Rapit Transit

Bila ditinjau dari aspek kualitas dan kapasitas sarana prasarana, Trans Jogja memang belum bisa berkompetisi dengan Trans Jakarta yang telah beroperasi sejak 15 Januari 2004. Model dan ukuran armada Trans Jogja jauh lebih kecil dari Trans Jakarta yang saat ini sudah memiliki tipe bus gandeng. Hingga volume angkut penumpang jauh lebih banyak. Kapasitas shelter juga memiliki perbedaan mencolok. Sehari-hari para penumpang Trans Jogja harus rela menunggu di shelter yang luasnya rata-rata 3m2. Bila di Jakarta, penumpang tidak boleh keluar dari shelter selama antri, maka di Yogyakarta bila yang antri melebihi kapasitas shelter penumpang diperbolehkan menunggu diluar.

Pengalaman selama menjadi penumpang setia Trans Jogja, ada beberapa permasalahan menarik yang sebenarnya perlu dibenahi oleh pihak pengelola, pengguna jasa dan masyarakat secara bersama-sama. Pertama, saya mengamati petugas jaga disetiap shelter rata-rata sudah memiliki kemampuan komunikasi dan sikap yang ramah dalam melayani penumpang. Namun, ketika waktu kedatangan armada tidak sesuai SOP yaitu antara 15-20menit sekali, petugas belum ada upaya atau lebih tepatnya belum dibekali pihak pengelola untuk mencari informasi dan berkomunikasi (via telepon) dengan shelter lain mengapa armada yang ditunggu belum tiba. Akibatnya, penumpang terpaksa harus menunggu 1 (satu) jam lebih dari waktu yang seharusnya. Bagi penumpang yang diburu waktu, saya sering menyaksikan mereka akan memilih keluar dari antrian dan naik angkutan lain. Bahkan ada juga yang menunggu jemputan saudara/keluarga agar dapat pulang lebih cepat. 

Isu lain yang perlu jadi perhatian pengelola, mengenai gaji para petugasnya yang saya dengar pernah menunggak hingga 3 (tiga) bulan. Bagaimanapun, masalah kesejahteraan pekerja harus senantiasa diperhatikan. Karena upah adalah hak pekerja dan menjadi tanggung jawab pengelola selama mereka bekerja. 

Saya amati, sejumlah shelter kini sudah mulai direnovasi secara bertahap. Namun, tidak dengan armada busnya. Hal yang seringkali saya dan para penumpang lain rasakan adalah masalah keterlambatan bus untuk singgah dari shelter ke shelter lain. Bukan hanya karena jauhnya trayek dan atau kondisi lalu lintas yang macet di Yogyakarta tetapi karena rasio armada bus yang kian hari tidak mampu memenuhi kebutuhan jumlah penumpang yang semakin meningkat. Bila kebutuahn penambahan armada bus tidak segera direalisasikan dalam waktu dekat maka dapat diprediksi Trans Jogja lambat laun akan sepi penumpang. 

Setiap kali saya masuk ke dalam area bus, rata-rata tempat duduk penumpang sudah tidak layak. Disejumlah armada bus koridor 3A-3B yang setiap hari saya tumpangi, sudah ada beberapa kursi yang patah seperti di belakang kursi sopir, atau ditempat duduk bagian belakang. Handle untuk penumpang yang berdiri juga beberapa kali saya perhatikan putus selama perjalanan. Entah kondisi handle memang sudah rusak atau putus karena pada saat posisi berdiri sopir mengendarai bus dengan ugal-ugalan. Persis seperti sedang mengendarai metromini di Jakarta. Akibatnya penumpang seringkali terjatuh. 

Saya perhatikan, baik di Jakarta maupun di Yogyakarta, penumpang masih belum sadar atau lebih tepatnya terbiasa untuk antri memasuki area bus. Public awareness masih rendah. Seringkali petugas jaga harus mengingatkan untuk senantiasa mendahulukan penumpang yang mau turun. Namun, tetap saja tidak diperhatikan dengan baik oleh penumpang. Lebih parahnya lagi, karena merasa sudah lama menunggu, penumpang seringkali tidak peduli dengan kuota bis untuk mengangkut penumpang. Berulang kali saya mendapati penumpang yang memaksakan diri untuk tetap masuk. Padahal kapasitas sudah overloaded. Keselamatan jadi kian terabaikan. 

Hal menarik lainnya yang tidak luput dari pengamatan adalah kebiasaan masyarakat kita yang dimanapun dan kapanpun bisa dengan leluasa makan, minum kemudian melancarkan aktivitas buang sampah sembarangan. Bahkan didalam bus ber AC seperti Trans Jogja sekalipun. Saya ingat, saat pertama kali naik Trans Jogja merasa kaget ternyata tidak ada larangan makan minum. Situasi ini agak sedikit berbeda dengan Trans Jakarta yang memberlakukan larangan makan dan minum selama perjalanan. 

Terakhir yang begitu jadi perhatian saya adalah masih rendahnya toleransi terhadap penumpang seperti ibu hamil, anak-anak dan manula. Di daerah seperti Yogyakarta yang katanya anggah ungguh masih membudaya ternyata mulai langka didalam scoop kecil seperti Trans Jogja. Tidak jarang, saya menyaksikan nenek yang dibiarkan berdiri berdesak-desakkan padahal dihadapannya ada pemuda yang secara etika sebenarnya bisa memberikan kesempatan kepada nenek tersebut untuk duduk. Dari hasil pengamatan, saya berpandangan bahwa Trans Jogja sejatinya bukan hanya bicara transportasi massal tetapi juga sarana bagi kita semua untuk mengasosiasikan budaya tertib dan sikap toleransi ditengah-tengah masyarakat yang kian hari kian menipis kesadaran untuk tertib dan bertoleransi dengan sesama.

*ditemani nyamuk :p

1 comment:

  1. hmm... seperti yang saya alami juga, saya juga penumpang setia trans jogja..., awal munculnya trans jogja kondisi masih baik2 saja tapi lama kelamaan bnyk yg rusak dan sampai sekrng belum ada tindakan perbaikan, bahkan banyak yang lebih memilih berdiri ketimbang duduk dikursi yang sudah patah..., ^^a

    ReplyDelete

Setelah baca postingan saya, jangan lupa tinggalin jejak ya. Terima kasih :))