Friday, November 9, 2012

Ketika Pembangunan Hanya Diukur Sebatas PDB

Lingkaran Kemiskinan (Vicious Circle of Poverty) 
Selama tiga tahun terakhir, jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat hingga 2.7 juta orang. Pada tahun 2008 angkanya masih berada diangka 40.4 juta orang. Tahun 2010 meningkat menjadi 43.1 juta jiwa… Ada 40 orang terkaya di Indonesia yang kekayaannya mencapai Rp 680 triliun atau setara dengan 10.3% PDB Nasional… terbesar dibandingkan Negara maju… Amerika yang jumlah orang kayanya mencapai 400 orang ternyata hanya 9.4%. Demikian dengan China yang orang kayanya mencapai 115 orang, ternyata hanya 3.9%...” (Gatra, 26 Oktober 2011) 
Bila dibandingkan dengan jumlah populasi penduduk Negara Indonesia yang berjumlah 237.641.326 jiwa (Sensus Penduduk per 2010) dengan Negara lain nampaknya data diatas terdengar tidak fair. Sedikit berbeda dengan data diatas, BPS mengeluarkan data jumlah penduduk miskin Indonesia per 2011 (data ini juga dipakai oleh World Bank) yaitu sebesar 30 juta jiwa (12.5% dari total populasi). Turun sekitar 1 juta jiwa dari tahun 2010 (31 juta jiwa atau 13.3%). Bila kita tengok data dari World Bank per 2011, populasi penduduk Thailand berjumlah 69.52 juta jiwa, Kamboja dengan 14.31 juta jiwa, dan Laos yang hanya berpenduduk 6.288 juta jiwa. Bila hanya persentase (indikator ekonomi) yang jadi rujukan tanpa menilik indikator sosial lainnya maka ukuran keberhasilan pembangunan suatu negara akan sulit bergerak ke level positif. Teori pembangunan mengatakan bahwa indikator pendapatan per kapita sangat erat kaitannya dengan berbagai indikator sosial (Lane and Ersson, 1994:100). 

Lain halnya bila data itu dihubungkan dengan sudah sejauh mana langkah kebijakan penanggulangan kemiskinan yang telah diambil pemerintah Indonesia maka sudah seharusnya pemerintah beserta komponen bangsa bergerak untuk keluar dari kondisi yang oleh Ragnar Nurkse disebut sebagai Vicious Circle of Poverty and Backwardness. Kondisi dimana suatu masyarakat yang berada dan sulit untuk keluar dari kemiskinan dan penyebab kemiskinan itu sendiri. Rendahnya produktifitas, pendapatan, PDB, lemahnya infrastruktur pendukung investasi, sempitnya lapangan kerja, pengangguran, daya beli dan daya motivasi kerja yang rendah merupakan indikasi mengapa sejumlah negara berkembang termasuk Indonesia masih ada di lingkaran setan kemiskinan. 

Hal menarik lain dari artikel tersebut dan layak jadi sorotan bersama adalah akumulasi kekayaan dari 40 orang terkaya di negara ini yang secara mengejutkan mampu memenuhi 10.3% (Rp 680 T) dari PDB Nasional 2011. Bila dana Rp 680 T itu diumpamakan sebagai modal investasi maka dalam teori Rostow, Indonesia sudah bisa masuk dalam kategori tinggal landas (take-off stage). Dimana negara diharapkan mampu mengusahakan investasi sampai 10% dari pendapatan nasional pada sejumlah bidang yang dipandang mampu mendatangkan keuntungan (Fakih, 2011:56). Namun sayangnya dana itu hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. 

Kita sudah sepatutnya mengapresiasi kinerja pemerintah atas pertumbuhan ekonomi kita yang sudah mampu mencapai 6.5% (per 2011 lalu). Namun, ketimpangan (inequality) kemakmuran ekonomi antara penduduk kaya dan yang miskin (disadvantaged people) di negara ini merupakan pekerjaan berat bagi pemerintah untuk segera dicari jalan keluarnya. Ditambah lagi, akses atas modal yang merata dan berkeadilan juga menjadi sulit terealisasi ketika populasi penduduk semakin tidak terkontrol dari waktu ke waktu. Minimnya akses pendidikan dan kesehatan juga jadi hambatan berat bagi masyarakat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. 

Disadari atau tidak, bila melihat potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia kita, idealnya Indonesia sudah layak mengantarkan rakyatnya diposisi sejahtera. Namun yang terjadi justru sebaliknya, dimana kemiskinan, pengangguran dan ketidakadilan sosial semakin lama semakin merambah di masyarakat. Adanya ketimpangan tersebut nyatanya telah menghadirkan banyak masalah di Indonesia. Rendahnya aksesibilitas pendapatan disejumlah daerah telah mendorong sebagian masyarakat untuk mengadu nasib ke kota (urbanisasi). Rata-rata dari mereka tidak memiliki modal kecakapan yang memadai untuk bersaing karena tingkat dan kualitas pendidikan yang dienyam belum mampu memenuhi standar pasar tenaga kerja dan industri saat ini. 

Masyarakat yang awalnya bekerja disektor formal, perlahan kini beralih ke sektor informal untuk memeroleh penghidupan yang lebih layak. Tidak heran bila ada data yang menunjukkan bahwa tingkatan sosial ekonomi masyarakat menengah di Indonesia semakin meningkat berapa tahun belakangan. Namun tidak sedikit pula masyarakat kita yang masih berada di bawah garis kemiskinan tanpa ada perubahan sosial ekonomi berarti. Peluang pendapatan mereka semakin dipersempit. Petani semakin sulit berpeluang untuk naik dari statusnya sebagai buruh tani menjadi pemilik lahan ketika lahan produktif itu justru dikuasai oleh pemilik modal (orang kaya). Pengusaha kecil sulit untuk berkompetisi ketika pengusaha besar memutus peluang untuk masuk di sektor yang sama. Ditambah lagi, masih sulitnya akses permodalan bagi pengusaha kecil untuk mengembangkan usaha dari perbankan. 

Mungkin benar pendapat Rivero (2008:173) bahwa kekayaan negara-negara dunia ketiga dengan sumberdaya alam yang melimpah dan permintaan akan bahan mentah yang terus meningkat telah membuat pemerintah negara-negara ini terbiasa untuk menggantungkan diri dari pendapatan tersebut, tanpa pernah memiliki pemikiran untuk mengadakan penelitian ilmiah. Amerika bisa menjadi salah satu kekuatan ekonomi (OECD) bukan karena kekayaan alam yang dimilikinya, namun karena kemampuan mereka untuk berinovasi dan menciptakan sesuatu melalui bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Masih rendahnya kadar need of achievement (N’ach) para pembuat kebijakan, cendikia juga masyarakat kita mungkin bisa jadi penjelasan mengapa perekonomian negara lain bisa tumbuh dengan pesat sedangkan kita tidak. Mengapa negara lain mampu keluar dari kemiskinan sedangkan kita masih terjebak dalam development trap seperti VCP. 

Teori modernisasi melihat bahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negeri negara yang bersangkutan. Faktor determinan inilah yang berusaha diungkapkan McClelland dalam menjelaskan mengapa rakyat di negara dunia ketiga terbelakang karena rendahnya need of achievement (N’ach). Semakin tinggi N’ach seseorang, semakin tinggi pula dorongannya untuk berpikir kreatif, inovatif, berkerja keras, disiplin, mandiri dan terencana. Ciri-ciri masyarakat produktif yang demikian, menurut McClelland dapat memicu pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat meningkat pesat. 

Cara yang paling rasional untuk menghasilkan masyarakat dengan N’ach menurut McClallend adalah melalui pendidikan. Mulai dari komunitas pendidikan yang paling terkecil yaitu keluarga. Dalam komunitas inilah peran wanita menjadi penting dalam pembangunan (women in development). Semakin baik pola pengasuhan dan kualitas pendidikan (baik formal maupun informal) terhadap anak, maka semakin besar pula peluang untuk memeroleh generasi yang inovatif (innovative behavior) dan kreatif dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Harapannya, melalui pendidikan, lingkaran kemiskinan yang masih membelenggu negara ini mampu menjadi resep pembangunan yang mujarab demi memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 

Referensi: 
Fakih, Mansour. 2011. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press. 
Farias, Christine. Farias, Gerard. 2008. Cycles of Poverty and Consumption: The Sustainability Dilemma. Vol.6 No.2 p.248-257 
Lane, Jan Erik. Ersson, Svante. 1994. Ekonomi Politik Komparatif. Jakarta Utara: PT.Raja Grafindo Persada. 
Rivero, de Oswaldo. 2008. Mitos Perkembangan Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


*ini juga potensial untuk saya perbarui (^___^)

No comments:

Post a Comment

Setelah baca postingan saya, jangan lupa tinggalin jejak ya. Terima kasih :))