Sunday, January 20, 2013

Part 2: Ekonomi Politik Ituuuuu...

Pendekatan ekonomi politik sendiri secara definitif dimaknai sebagai interrelasi antar aspek, proses dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi berupa produksi, investasi, harga, perdagangan, konsumsi dan lain sebagainya (Caporaso & Levine, 1992, p. 31). Mengacu pada definisi tersebut, pendekatan ekonomi politik mengaitkan seluruh penyelenggaraan politik, baik yang menyangkut aspek, proses maupun kelembagaan dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang diintrodusir oleh pemerintah. Artinya, instrumen-instrumen ekonomi seperti mekanisme pasar, harga dan investasi dianalisis dengan menggunakan setting sistem politik dimana kebijakan atau peristiwa ekonomi itu terjadi. Pendekatan ini melihat ekonomi sebagai cara untuk melakukan tindakan, sedangkan politik menyediakan ruang bagi tindakan tersebut (Yustika, 2011, p. 8). 

A. ALIRAN EKONOMI POLITIK

1. Perspektif Liberalisme Klasik

Liberalisme klasik berkembang dari filosofi Pencerahan (enlightenment) yang secara jelas menekankan hak-hak dan kebebasan individu dari kesewenang-wenangan. Idealnya, seluruh interaksi sosial harus ada pertukaran secara sukarela (kerjasama) antar orang perorangan. Dengan fokus pada pilihan individu sebagai deteminan utama dari social outcomes, liberalisme klasik idealnya cocok untuk mengungkapkan teori ekonomi. Pada kenyataannya, sejarah perkembangannya berkaitan erat dengan sejarah ekonomi itu sendiri, dimulai dengan ekonomi politik klasik, dilanjutkan dengan cabang ekonomi klasik Austria, dan berkulminasi dengan teori pilihan publik saat ini, ekonomi klasik baru dan paham moneter (Clark, 1991, p. 41). Berikut paparan mengenai pemikiran beberapa tokoh liberalisme klasik: 

THOMAS HOBBES

Saat ini, paham liberalisme klasik lebih diasosiasikan pada pemikirannya Adam Smith, padahal aliran ini berawal dari pemikirannya Thomas Hobbes. Dia adalah salah satu dari teoritikus sosial Inggris pertama yang mengadopsi metode baru ilmu pengetahuan alam untuk menganalisis perilaku manusia. Dia sangat dipengaruhi oleh dua orang ilmuwan pionernya yaitu Francis Bacon (1561-1626) dan Rene Descartes (1596-1650). Dia membayangkan dunia sebagai sebuah sistem mekanik yang berjalan berdasarkan ketentuan hukum alam dan sama sekali tidak keluar dari tujuan dan arti yang sebenarnya. 

Penerapan pandangan ilmiah atas perilaku manusia akan memberikan pengetahuan tentang hukum-hukum alam yang mengatur masyarakat. Untuk memahami kompleksitas masyarakat harus dimulai dari komponen terkecil yaitu manusia. Hobbes berkesimpulan bahwa konsep kesendirian, kemiskinan, keburukan, dan tidak adanya perikemanusiaan merupakan bentuk keserakahan manusia yang hanya mengejar kepentingan pribadinya semata. 

Hobbes beralasan bahwa kepentingan pribadi setiap orang perorang secara sukarela akan masuk ke dalam kontrak sosial (social contract) untuk membentuk pemerintahan dengan otoritas absolut guna mendefinisikan dan melindungi hak-hak individu. Namun, menurutnya ada 2 hal yang harus diperhatikan dalam kontrak sosial. Pertama, pemerintah tidak bisa menekan kelompok atau individu tertentu. Kedua, pemerintah harus melayani semua kepentingan individu (masyarakat). 

Dia juga berpandangan bahwa pemenuhan kepentingan pribadi (privat) adalah tujuan utama setiap orang, dan politik hanyalah cara untuk melindungi hak-hak individu dari invasi pihak lain. Politik juga sebagai tempat dimana kebebasan dan pengembangan manusia bisa dibangun dari partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Hobbes berkesimpulan bahwa pemerintah harus memiliki otoritas absolut untuk menjaga dan menegakkan hukum yang berlaku. Selama pemerintah bisa mengelola ketertiban umum, maka masyarakat tidak akan menolak atau membelot dari aturan-aturan yang berlaku. Dalam bukunya berjudul Leviathan (1651), kondisi negara yang digambarkan Hobbes itu disebut sebagai negara otoriter. Namun sayangnya, kesimpulan Hobbes ini kemudian ditentang oleh para penganut aliran liberalisme klasik berikutnya. 

JOHN LOCKE 

John Locke merupakan filsuf Inggris yang mengikuti metode Hobbes dengan membangun teori berdasarkan asumsi tentang individu dalam sebuah negara. Seperti Hobbes, dia percaya pada dasarnya individu itu memiliki kepentingan pribadi dan serakah. Tapi dia juga percaya bahwa kapasitas manusia memungkinkan setiap orang untuk menemukan aturan-aturan mendasar yang bisa dijadikan acuan untuk mengendalikan kepentingan individu dan mendefinisikan aturan yang tepat dalam pemerintahan. 

Kekuasaan politik, menurut Locke, adalah suatu keadaan alamiah (state of nature) yang di dalamnya terdapat hukum alam yang tidak lain adalah hukum Tuhan. Keadaan alamiah ini mendahului eksistensi negara. Dalam keadaan alamiah, manusia itu memiliki hak yang sama untuk menggunakan kemampuan mereka. Pembelaan Locke atas property rights dituangkan dalam karyanya Two Treatise of Government (1689). Dia menyatakan bahwa hak milik itu adalah hal yang alamiah dimana tidak ada satu orangpun termasuk pemerintah yang bisa melegitimasinya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa kepemilikan tanah (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights dan negara justru didirikan untuk melindungi hak-hak asasi tersebut. 

Untuk mencegah timbulnya negara absolut dan terjaminnya kehidupan civil society, Locke berbicara mengenai peran strategis konstitusi. Konstitusi merupakan elemen yang sangat penting dalam suatu negara, karena di dalamnya memuat aturan-aturan dasar pembatasan kekuasaan dan hak-hak asasi warga negara. Aturan-aturan konstitusional ini tidak boleh dilanggar oleh penguasa negara. 

ADAM SMITH 

Adam Smith adalah seorang filsuf moral Skotlandia yang menjadi pendiri ekonomi politik klasik. Bila Hobbes dan Locke banyak berbicara mengenai politik maka Smith mengartikulasikan liberalisme klasik dalam teori ekonomi. Dalam karya besar pertamanya The Theory of Moral Sentiments (1759), Smith berpandangan bahwa manusia itu pada dasarnya lebih memilih untuk hidup bermasyarakat ketimbang individual dan mementingkan diri sendiri. Menurutnya, manusia melalui interaksi sosial dapat memberikan ruang bagi kepentingan mereka sehingga perlu melihat situasi dari perspektif pihak yang netral (impartial spectator). Inilah yang membuat Smith mengalihkan perhatiannnya dari filosopi moral ke ekonomi politik. 

Setelah mengintrodusir gagasan tentang laissez-faire kepada kelompok Physiocrats (para ahli ekonomi politik Perancis), melalui bukunya berjudul Wealth of Nations (1776) dia menyimpulkan bahwa masyarakat yang berorientasi pada pasar (market-oriented society) tidak bisa hanya menahan efek dari perilaku serakah masing-masing individu tapi harus bisa mengarahkan keterwakilannya ke dalam saluran-saluran produktif yang menguntungkan secara sosial. 

Smith adalah orang yang tidak terlalu optimis dengan ekonomi pasar. Selama abad ke 18 dan 19, kebijakan merkantilis melibatkan pemerintah dalam perpajakan, membuka peluang pasar di luar negeri, memproteksi para pengusaha dari kompetisi, dan memastikan kualitas produk. Smith percaya intervensi pemerintah ini akan mengganggu potensi pasar. Dia juga mengusulkan bahwa pemerintah hanya terbatas pada tiga fungsi yaitu penegakan hukum, mencetak uang (perbankan), dan penyediaan barang publik. 

2. Perspektif Radikal 

Meskipun ide-ide radikal masa lampau dapat ditelusuri kembali, radikalisme modern lahir dari konflik antara aspirasi demokrasi dan kekuatan yang muncul dari kepemilikan kapitalis. Radikal mengklaim bahwa kesetaraan dan kontrol publik yang lebih besar atas alat-alat produksi, penting untuk mencapai nilai-nilai kebebasan dan keadilan. Selama abad ke19, liberalisme klasik menjadi semakin pesimis dan anti-egaliter, pengaruh radikalisme dikalangan kelas pekerja dan intelektual sangat besar pada masa itu. Fakta yang terkait erat dengan ide-ide sosialis dan komunis menyebabkan pembela hak milik pribadi untuk merumuskan sebuah versi baru dari liberalisme. Oleh karena itu, di AS dan Eropa Barat, banyak dampak dari ide-ide radikal telah ditransmisikan secara tidak langsung melalui perubahan ideologi liberal dan kebijakan (Clark, 1991, p. 56). 

JEAN JACQUES ROUSSEAU 

Tidak seperti Hobbes atau Locke, filsuf Perancis Rousseau mengklaim bahwa manusia tidak dapat berkembang secara penuh kecuali kalau mereka didukung oleh fungsi jaringan sosial. Hanya dalam sebuah komunitas, manusia dapat keluar dari kesendirian, pengasingan dan ketidakberdayaan. Dalam tulisannya Inequality (1762), Rousseau menyalahkan ketidaksamaan dalam kepemilikan properti yang menghancurkan kedamaian dan rasa simpati dari setiap manusia. Itu sebabnya dia berpandangan bagaimana masyarakat itu seharusnya diorganisir dengan cara mempertimbangkan kebebasan individu, kesamaan, dan rasa komunitas (sense of community)

Dalam tulisannya The Social Contract (1762), Rousseau menganjurkan peningkatan partisipasi politik semua masyarakat. Bagaimanapun, kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pembuatan society’s laws dan kelembagaan, akan memberikan setiap individu rasa bermartabat. Dia juga menilai, untuk memfaslitasi partisipasi politik dan pengembangan sense of community, masyarakat harus tinggal disebuah wilayah dimana interaksi face to face akan mendorong berkembangnya nilai-nilai untuk saling berbagi dan bekerja sama. Dari pandangannya tersebut, Rousseau mendukung adanya pemerintahan totaliter, dia menjustifikasi politisasi seluruh aspek dalam masyarakat. Kepentingan pribadi (privat) dan kepentingan publik haruslah seimbang melalui partisipasi, dialog dan rasa solidaritas dimasyarakat. 

KARL MARX 

Marx merupakan seorang ahli ekonomi politik Jerman. Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh gagasan dari G.W.F Hegel (1770-1831). Dia memiliki ide sosialisme setelah membaca The Utopian Socialist termasuk Fourier and Saint Simon. Marx percaya bahwa kondisi material masyarakat khususnya struktur produksi dan distribusi, berpengaruh besar pada semua dimensi termasuk cara orang berpikir. Namun, ia secara khusus menyatakan bahwa metode itu diakui sebagai interaksi timbal balik antara ekonomi, lembaga-lembaga sosial lainnya, dan kesadaran manusia. 

Dalam Capital (1867), Marx berpendapat modal dibanding dengan pemerintah atau warga negara adalah penguasa sebenarnya dari masyarakat. Sedangkan liberal klasik membela otonomi modal untuk melindungi kebebasan individu dari penindasan oleh pemerintah dan bangsawan. Marx berpendapat bahwa kekuatan modal mensubversi kemampuan warga negara untuk membentuk masyarakat sesuai dengan kepentingan demokratis yang ditentukan oleh kepentingan kolektif. Singkatnya, kebebasan modal berarti menghilangkan kebebasan setiap orang. 

Marx menggunakan istilah capital untuk menunjukkan hubungan sosial antara pemilik modal dan pekerja. Menurutnya, kemampuan modal untuk menghasilkan laba itu bukan karena produktivas, tapi justru berasal dari kekuatan dominan pemilik yang memungkinkan mereka untuk membayar pekerja dengan upah minim dibanding nilai produk yang dihasilkan. Ketika Marx mengaitkan eksploitasi dan masalah sosial lainnya dengan logika akumulasi modal. ia tidak menyalahkan mesin, melainkan struktur kelas yang telah menempatkan kekuasaan ditangan minoritas kecil dari populasi yaitu pemilik modal. Artinya, perekonomian pasar bukanlah mekanisme untuk memaksimalkan kesejahteraan pribadi setiap individu melainkan sebuah sarana untuk memfasilitasi para kapitalis untuk merampas keuntungan lebih (laba) dan mengakumulasi modal. 

Melalui logika akumulasi modal tersebut, Marx memiliki penafsiran terhadap hubungan antara ekonomi dengan politik berlandaskan pada ide dan peranan kepentingan ekonomi itu sendiri dalam mendefinisikan agenda politik. Menurutnya, sebelum kepentingan ekonomi dapat memainkan peran dalam politik secara langsung, pertama-tama individu dalam masyarakat harus paham bahwa mereka kesamaan kepentingan dengan individu lain, kemudian mengorganisir kepentingan mereka untuk naik jadi agenda politik. Cara membangun kesadaran politik setiap kelas untuk memperjuangkan kepentingan mereka adalah pertama, dengan mengidentifikasi lebih dulu karakter ekonomi obyektif masing-masing kelas. Kedua, mereka harus mentransformasi kepentingan itu dalam sebuah agen politik. Bagi kelas pekerja, agen politik yang paling tepat adalah partai, sementara bagi kapitalis, agen politik yang paling tepat adalah negara (Caporaso & Levine, 2008, pp. 145-148). Namun, sayangnya yang terjadi saat ini adalah negara melalui saluran kebijakan-kebijakannya lebih mengakomodir kepentingan kapitalis dan cenderung tidak berpihak pada kepentingan kelas pekerja (buruh). 

Selain dua tokoh diatas, para ahli yang juga berkontribusi dalam perspektif radikal yaitu Edward Berstein melalui In Evolutionary Socialism (18990, Thorstein Veblen melalui bukunya The Theory of the Leisure Class (1899), V.I Lenin melalui tulisannya What Is To Be Done? (1902) dan Imperialism, The Highest Stage of Capitalism (1916), dan Jurgen Habermas melalui dua karyanya Knowledge and Human Interest (1968) dan Communication and the Evloution of Society (1979). Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut, (Clark, 1991, pp. 63-64) mengidentifikasi beberapa prinsip-prinsip aliran konservatif, diantaranya: 
  1. Manusia secara khusus memiliki kebutuhan biologis dan kapasitas untuk menentukan sebuah alasan, tetapi kesadaran dan perilaku mereka berdampak pada lingkungan sosial mereka; 
  2. Masyarakat itu lebih dari sekedar kumpulan individu. Karena masyarakat merupakan individu-individu yang memiliki identitas dan kepentingan yang berpotensi konflik, maka diperlukan sebuah lembaga yang mendorong pengembangan dan hubungan sosial individu yang berlandaskan rasa saling menghargai satu sama lain; 
  3. Peran pemerintah yang paling tepat adalah melayani dan merepresentasikan semua kepentingan kolektif masyarakat; 
  4. Walaupun Marxist menolak gagasan etika Radikal, non-Marxist Radical menemukan basis moralitas manusia dalam relasi sosial; 
  5. Kebebasan adalah kemampuan untuk mengembangkan salah satu kapasitas manusia yang hanya bisa dicapai dengan kerjasama dan partisipasi; 
  6. Wewenang atau kekuasaan tidak hanya berarti kesamaan untuk memeroleh kesempatan, tapi juga kesamaan substansial atas hasil yang dicapai. Selama pemerintah memperjuangkan nasib mereka yang tidak beruntung secara sosial ekonomi, pemerintah bisa menempuh dengan cara menetapkan pajak atau pengambilalihan pendapatan; 
  7. Keadilan berarti bahwa upah didistribusikan sesuai dengan hak-hak yang ditetapkan melalui proses politik yang demokratis. Keadilan juga termasuk dalam pelaksanaan hukum; Efisiensi berarti bahwa semua sumberdaya masyarakat digunakan untuk memaksimalkan pencapaian tujuan seperti keadilan, solidaritas dan pembangunan manusia itu sendiri.
to be continued...

No comments:

Post a Comment

Setelah baca postingan saya, jangan lupa tinggalin jejak ya. Terima kasih :))