Thursday, February 28, 2013

Part 3: Ekonomi Politik Ituuuuu...



3. Perspektif Konservatif 

Pada abad 19, label konservatif merujuk pada ide-ide dan teori yang didedikasikan untuk menjaga hirarki dan masyarakat atas ancaman yang ditimbulkan oleh individualisme dan demokrasi. Pada abad 20, bagaimanapun, liberal modern berawal dari label liberal klasik sebagai konservatif untuk meninggikan perbedaan antara dua bentuk liberalisme. Awalnya, liberal klasik menolak relabelisasi ini, namun pada akhirnya menjadi bagian dari diskursus populer sehingga konservatisme saat ini diasosiasikan dengan individualisme, pasar bebas, dan pemerintahan yang terbatas (Clark, 1991, p. 71). 

Meskipun ini adalah konsepsi populer dari konservatisme, kita tetap akan bersandar pada pemaknaan istilah abad 19 untuk dua alasan. Pertama, ketika liberalisme klasik disebut konservatisme, maka konservatisme asli cenderung dilupakan atau diabaikan. Kedua, analisis dari perspektif alternatif dalam ekonomi politik ini bertujuan untuk mengembangkan pemahaman tentang akar sejarah perdebatan modern, sehingga ada keuntungan untuk menjaga kontinuitas dalam arti ideologis (Clark, 1991, p. 71). Clark sendiri mengakui bahwa meskipun tidak terbiasanya kita dengan istilah konservatif dapat menimbulkan kesulitan dalam menerjemahkan wacana politik yang populer, kesulitan ini perlu diimbangi dengan wawasan yang menjaga bahwa ada perbedaan antara konservatisme dan liberalisme klasik. 

Para tokoh (arstitek) yang menurut Clark telah berkontribusi dalam pemikiran konservatif adalah Edmund Burke dalam Reflections on the Revolution in France (1790), Thomas Carlyle dalam Heroes and Hero-Worship (1840), Vilfredo Pareto dalam Manual of Political Economy (1906) dan The Mind and Society (1916), Joseph Schumpter dalam The Theory of Economic Development (1911) dan Capitalism, Socialism and Democracy (1942), Leo Strauss dalam Natural Right and History (19530, dan Michael Oakeshott dalam Rationalism in Politics (1962) dan On Human Conduct (1975). Berikut beberapa pemikiran tokoh tersebut: 

EDMUND BURKE 

Burke merupakan anggota parlemen Inggris dan dikenal sebagai bapak konservatisme. Dalam tulisannya Reflections on the Revolution in France (1970), Burke mengkritik keras radikalisme Revolusi Perancis. Menurunya masyarakat itu bukanlah sebuah mekanisme yang bisa dapat dibongkar menjadi beberapa bagian dan kemudian dibangun kembali dengan cara berbeda. Masyarakat adalah organisme yang rentan, dan jika proses tradisi itu terganggu, maka akan timbul sebuah kekacauan (chaos). 

Burker menyatakan bahwa individu membutuhkan bimbingan moral dan kekuasaan, untuk itu Burke mengusulkan hadirya sebuah gereja nasional dan pemerintahan aristokrat ada masa itu. Dia tidak percaya dengan demokrasi, menurutnya demokrasi hanya akan mengubah proses politik menjadi perang antara kepentingan pribadi. Burke mendukung konsep hak milik dan ekonomi pasar, tetapi dia menyatakan bahwa kepentingan individu harus dikendalikan oleh moral. Dia mendesak para pengusaha untuk tetap berperilaku terhormat dalam menempatkan tugasnya demi masyarakat untuk memeroleh keuntungan maksimum. Dia juga ingin aktivitas ekonomi tetap relatif bebas dari intervensi pemerintah, tetapi ia juga percaya bahwa kebebasan membutuhkan struktur kekuasaan untuk menahan keinginan individu. Pandangan Burke jelas beroposisi (Clark, 1991, pp. 72-73). 

THOMAS CARLYLE

Carlyle adalah seorang sejarawan Inggris. Dalam karyanya Heroes and Hero-Worship (1840), dia mengklaim bahwa setiap masyarakat itu membutuhkan pemimpin berwibawa yang bisa menghasilkan sebuah konsensus diantara kelompok yang berbeda. Tidak seperti Burke, Carlyle mengagumi Robespierre dan para pemimpin lain dalam Revolusi Perancis dalam mengambil kesempatan untuk menumbuhkan kembali stagnasi masyarakat. 

Meskipun begitu, Carlyle bukan seorang democrat. Dia menolak kampanye dan pemilihan politik. Dia mengusulkan bahwa individu-individu yang bijaksana sudah seharusnya ditempatkan dalam episentrum kekuasaan. Dia juga tidak sepakat dengan gagasan liberal yang menciderai kebebasan individu. Persaingan individu dalam kapitalisme laissez-faire tidak bisa hidup dalam kebebasan sejati. 

Kemudian untuk mengurangi efek dari pasar, Carlyle mengusulkan bahwa pemerintah harus memikul tanggung jawab regenerasi spiritual dan moral dalam masyarakat. Ditambah lagi, pemerintah bisa memperlancar kapitalisme melalui program bantuan, peraturan dan upaya untuk mereformasi struktur kewenangan disuatu perusahaan. 

Berdasarkan pemikiran-pemikiran para tokoh tersebut, Clark (1991, pp. 79-80) mengidentifikasi beberapa prinsip-prinsip aliran konservatif, diantaranya: 
  1. Pada dasarnya manusia itu punya dorongan kuat untuk dapat diarahkan menjadi pribadi jahat atau baik. Pada kenyataannya manusia tidak dapat berkembang tanpa ikatan organisasi sosial; 
  2. Masyarakat sebagai sebuah struktur organik didasarkan pada sebuah tuntutan hirarki alamiah. Tanpa hirarki, setiap orang akan jadi homogen dan proses pembentukan pribadi individu dapat terhambat; 
  3. Tujuan dari pemerintah adalah untuk menjaga dan memelihara kebutuhan dasar masyarakat. Pemerintah seharusnya tidak hanya menegakkan hukum yang melindungi hak milik, tetapi harus secara aktif membina lembaga-lembaga seperti keluarga dan lingkungan yang secara konteks sosial merupakan tempat dimana individu berkembang; 
  4. Moralitas, keberadaannya tidak tergantung dari pendapat individu benar dan salah, dan karena itu setiap orang harus memiliki prioritas untuk mengejar kebajikan daripada keinginan pribadi. Nilai-nilai moral termasuk terdiri dari loyalitas, patriotisme, ksatria, ketaatan, keberanian, kesetiaan, menghormati otoritas, ramah, dan kehormatan.; 
  5. Kebebasan itu ada ketika individu-individu tidak berlaku sewenang-wenang yang dikuasai oleh nafsu mereka sendiri. Kebebesan itu mensyaratkan otoritas, tradisi, dan masyarakat yang stabil; 
  6. Wewenang adalah sah ketika itu berada diantara orang-orang yang terbiasa dengan kepemimpinan tradisional dan memiliki yang memiliki pemahaman tentang kebenaran dan kebajikan; 
  7. Masyarakat itu bisa dinyatakan setara (equality) hanya dalam status formalnya sebagai warga negara; 
  8. Keadilan dapat terpenuhi ketika tata tertib itu dijaga, hukum diatur dengan seimbang, dan kedudukan individu diatur melalui hirarki sosial; 
  9. Efisiensi berarti bahwa masyarakat berfungsi dengan baik menuju sebuah keberhasilan tidak hanya dalam menghasilkan sebuah materi, tetapi juga dalam pencapaian nonmaterial seperti menjaga tata tertib, kesatuan komunitas, dan kebaikan individu. 

4. Perspektif Liberalisme Modern 

Akar liberalisme modern jauh dari tradisi liberalisme klasik. Meskipun teori awal liberal klasik seperti John Locke dan Adam Smith menyatakan keberatan mengenai kebijaksanaan perorangan. Komitmen mereka untuk kebebasan individu dan hak milik pribadi menghalangi upaya penting pemerintah. Dengan munculnya tantangan radikal dan konservatif untuk kapitalisme, bagaimanapun, dapat mengembangkan persepsi bahwa kebijakan laissez-faire tidak mampu menghasilkan dukungan politik yang luas. Dalam menanggapi masalah ini, liberalisme modern muncul meskipun eklektik dan perpaduan liberalisme modern membuatnya tidak murni lagi. Tujuan liberalis modern adalah mendorong terciptanya keadilan sosial sekaligus melindungi kepemilikan pribadi dan demokrasi. 

Guna menelusuri pemikiran liberalisme modern ini (Clark, 1991, pp. 88-95) kita bisa melihat dari beberapa pemikiran para tokoh berikut: 

JEREMY BENTHAM 

Kritik atas pemikiran liberalisme klasik bermula dari upaya untuk menghilangkan gagasan Locke tentang hak dan hukum dasar. Inisiatif itu berasal dari seorang pakar hukum dan filsuf Inggris, Jeremy Bentham. Dia mengembangkan sebuah basis keilmuan untuk ilmu sosial yang menghilangkan prasangka pribadi. Pendekan Bentham ini berdasarkan elaborasi sebuah sistem etika yang disebut sebagai utilitarianisme. 

Dalam An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789), Bentham menyatakan bahwa kesedihan dan kesenangan adalah kriteria dasar dari konsep benar dan salah. Utilitarianisme ini menyajikan sebuah kemudahan dan pragmatis mendasar bagi pemerintah untuk melakukan intervensi. Menurutnya, hak-hak itu tidak hadir secara alamiah, namun ditetapkan oleh hukum. Dengan menetapkan hukum baru, pemerintah secara legitimasi bisa membuat atau menghilangkan hak properti tertentu asalkan hukum bertujuan untuk melayani kepentingan umum. 

Sayangnya, ketika ada isu kontroversial apakah pemerintah harus terlibat dalam redistribusi pendapatan dan kekayaan, Bentham mengelak. Di satu sisi, utilitarianisme memberikan argumen yang kuat untuk mendukung redistribusi. Di sisi lain, Bentham takut redistribusi itu akan memperlemah keamanan hak milik dan mengurangi insentif, sehingga berujung pada stagnasi ekonomi. Namun demikian, Bentham cenderung mendukung kebijakan laissez-faire dalam urusan ekonomi. Usulan untuk reformasi sebagian besar masih terbatas pada peradilan dan sistem pidana, pendidikan, dan proses pemilu. 

JOHN STUART MILL 

John Stuart Mill adalah salah satu figur intelektual abad ke-19. Tulisannya mencerminkan upaya untuk mengarahkan jalan tengah antara rasionalitas perhitungan utilitarianisme Bentham dan tema-tema romantisme pengembangan pribadi dan pemenuhan emosional. Mill menegaskan pedoman utilitarian untuk mengorganisir masyarakat melalui konsep kebahagian. Namun, berbeda dengan Bentham, Mill memperkenalkan gagasan kualitatif untuk melihat perbedaannya. 

Dalam tulisanya On Liberty (1859), Mill berpendapat bahwa pemerintah ikut campur dalam kebebasan individu hanya untuk mencegah masyarakat dari tindakan saling merugikan satu sama lain. Kemudian melalui bukunya Principles of Political Economy (1848), Mill berupaya untuk memahami masalah ekonomi sebagai suatu masalah sosial; masalah tentang bagaimana manusia hidup dan ikut ambil bagian dalam kemakmuran bangsanya, baik dalam proses produksi, perlindungan terhadap produk dalam negeri dan persaingan antar produk, maupun masalah distribusi melalui instrumen uang dan kredit (Dua, 2008). Menurutnya uang adalah kekuasaan, dan dalam rangka memenuhi kebutuhannya, manusia membutuhkan kekuasaan. Mill, menganggap kemakmuran suatu bangsa tidak ditentukan dengan pemenuhan kebutuhan fisik semata, melainkan kontinuitas produksi. 

Mill meyakini bahwa baik kapitalisme dan demokrasi itu keliru, tapi keduanya memiliki fungsi esensial dalam pelayanan. Kapitalisme memfasilitasi akumulasi kekayaan. Demokrasi memungkinkan semua warga negara untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif masyarakat. Mill mengakui bahwa perubahan sosial itu butuh waktu, tetapi pemerintah bisa mempercepat proses dengan menyediakan pendidikan publik berkualitas dan kesetaraan sosial. 

JOHN MAYNARD KEYNES 

Keynes adalah seorang ekonom Cambridge University. Keynes sepenuhnya menyadari berbagai kelemahan pasar ditemukan oleh Marshall dan Pigou. Ia mengutuk 'anarki ekonomi' pasar bebas sebagai penyebab tingginya pengangguran dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money (1936), dia mengkritik secara tegas pendekatan ekonomi klasik (termasuk neo-klasik) yang percaya kepada mekanisme pasar dan kecilnya peran pemerintah. Keynes juga adalah orang yang memperkenalkan adanya keterkaitan sektor moneter dengan sektor riil. Sebelumnya, pakar ekonomi klasik (Adam Smith, David Ricardo, Jean Baptise Say, dll), hanya menganggap perekonomian sebagai representasi sektor riil (barang dan jasa), tanpa adanya koneksitas dengan lalu sektor moneter. 

Sebagian besar ekonom sebelum Keynes, percaya bahwa resesi; melambatnya perekonomian dianggap sebagai penyimpangan yang bersifat sementara sehingga tidak memerlukan solusi dari pemerintah. Cara untuk keluar dari resesi adalah meningkatkan intervensi negara (pemerintah) dengan instrumen kebijakan fiskal melalui anggaran defisit (budget deficits) untuk memerangi dampak depresi perekonomian. Dengan menerapkan anggaran defisit dan pengeluaran pemerintah pada proyek publik yang berimplikasi terhadap pendapatan dan permintaan masyarakat. Pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek yang mampu menyerap tenaga kerja, terbukti sangat ampuh dalam meningkatkan jumlah produksi sekaligus mengatasi pengangguran, terutama pada situasi dimana sumber-sumber daya belum dimanfaatkan secara penuh oleh swasta. 

Mengapa Keynes sangat concern dengan permasalahan tenaga kerja? Karena menurutnya pasar tenaga kerja merupakan inti dari permasalahan instabilitas dalam ekonomi politik (Caporaso & Levine, 2008, p. 272). Ada dua alasan, pertama pasar tenaga kerja adalah mekanisme yang digunakan dalam sebagian besar individu dalam era kapitalis untuk mendapatkan nafkah bagi kehidupan mereka. Kedua, kontrak upah memiliki keterkaitan erat antara permintaan produk dengan upah dan penyerapan tenaga kerja. 

Selain itu, suku bunga dipandang sebagai faktor penentu dari permintaan terhadap kapital baru dimana besarnya investasi akan ditentukan oleh ketersediaan dana (tabungan). Dengan kata lain, semakin besar ketersediaan dana akan berimplikasi pada penurunan suku Bunga. Ketika suku bunga sudah turun, maka biaya investasi akan lebih murah sehingga orang/pihak lain akan tertarik untuk melakukan investasi (Caporaso & Levine, 2008, p. 282). 

Dari sejumlah pemikiran diatas, ada beberapa prinsip liberalisme modern (Clark, 1991, pp. 95-96) yang dapat kita pahami bersama, antara lain: 
  1. Setiap manusia memiliki pilihan rasional yang terbentuk dari lingkungan sosial mereka; 
  2. Masyarakat adalah kumpulan dari individu, tetapi di samping tujuan pribadi, individu juga memiliki eksistensi kepentingan kolektif yang hanya dapat dipenuhi melalui tindakan pemerintah; 
  3. Peran dari pemerintah adalah untuk memproteksi hak-hak dan melayani kepentingan kolektif masyarakat dengan cara mengedepankan kepentingan publik; 
  4. Hal terpenting dalam moralitas adalah nilai itu subyektif dan relatif. Namun bagaimanapun, nilai universal yang terpenting itu adalah rasa saling menghargai atas hak dan martabat, peduli terhadap lingkungan, dan respek terhadap otonomi orang/pihak/bangsa lain; 
  5. Legitimasi kewenangan itu ada ketika kekuasaan diterapkan dalam kepentingan publik; 
  6. Kebebasan itu memiliki dua arti, negatif dan positif. Dikatakan negatif, ketika kebebasan itu hadir karena paksaan dari pihak lain atau oleh pemerintah itu sendiri. Positif bila kebebasan itu secara efektif mampu mendorong pencapaian salah satu tujuan; 
  7. Kesetaraan dalam kesempatan dan kesetaraan dalam hukum adalah dua komponen penting dalam kesetaraan sosial; 
  8. Keadilan diperoleh ketika human rights dan property rights itu dihormarti; Efisiensi berarti memaksimalkan nilai barang dan jasa yang dihasilkan.

Finish! :D

No comments:

Post a Comment

Setelah baca postingan saya, jangan lupa tinggalin jejak ya. Terima kasih :))