Monday, June 24, 2013

ENERGY POLICY by PAUL RUSCHMANN, J.D (End)

... sambungan Part 1

3. Energy Crisis vs Free Market 

Selama 30 tahun, pemerintah AS telah bergantung pada kekuatan pasar permintaan dan penawaran untuk mendorong konservasi dan menemukan substitusi bahan bakar fosil. Hirsch Report melaporkan bahwa puncak produksi minyak dunia diperkirakan dapat menciptakan gangguan ekonomi yang sangat besar. 

Tidak ada pasar sempurna terutama dalam kasus energi yang notabene didominasi oleh industri minyak. Pasar juga tidak memberikan ruang selain minyak, gas atau batubara. Hasilnya, energi alternatif terasa lebih mahal; hampir tidak ada kompetisi dengan bahan bakar fosil. Dampak yang dihasilkan berupa kualitas udara dan air yang tidak memadai, masalah kesehatan akibat polusi, punahnya spesies tanamana dan hewan hingga yang paling serius yaitu pembuangan CO2 dan GRK ke atmosfer dalam jumlah besar. 

Para kritikus menggambarkan kebijakan AS saat ini sifatnya ad hoc yang hanya menguntungkan kepentingan ekonomi lokal. Pemerintah sudah saatnya mengadopsi kebijakan komprehensif, karena beberapa alasan: 
  1. Bila pemerintah gagal melindungi kepentingan umum (public interest), maka tidak ada lagi masyarakat yang akan mau berpartisipasi; 
  2. Bila tidak diatur, perusahaan energi akan terus berorientasi pada profit dan mengabaikan dampak jangka panjang seperti deplesi energi dan pemanasan global; 
  3. Pemerintah perlu mendorong upaya konservasi jangka panjang disaat harga turun dan tindakan hemat energi belum dianggap sebagai prioritas utama saat ini. Berkaca dari pengalaman Eropa dan Jepang, keamanan energi telah menjadi isu utama dimana pajak diberlakukan tinggi untuk mencegah kebijakan impor minyak. Sementara, pemimpin AS justru menyatakan telah terjadi krisis energi; 
  4. Karena produksi minyak mendekati puncak, hanya pemerintah yang bisa mengelola transisi ekonomi menuju alternatif. Memang butuh waktu lama untuk itu; 
  5. Pemerintah harus mengambil langkah pengurangan konsumsi bahan bakar fosil, misalnya dengan membuat bangunan publik ramah lingkungan dan membeli kendaraan berbahan bakar alternatif untuk keperluan operasional pejabat pemerintah sehari-hari. 
Murahnya harga minyak saat ini karena pemerintah masih mensubsidi industri energi. Meskipun, perusahaan migas dikenakan pajak secara variatif namun mekanisme subsidi itu adalah bentuk pengembalian dari pemerintah kepada perusahaan secara tidak langsung. Mereka dengan leluasa mengakses para pembuat peraturan dan kebijakan energi agar kepentingan mereka tetap terjaga dengan baik. Hal sama juga terjadi di Indonesia, kebijakan migas bukanlah sekedar isu ekonomi semata namun sudah naik jadi komoditi politik para elit ditataran legislasi misalnya saja pada proses penentuan tarif BBM terasa sekali nuansa politisnya. 

Pemerintah juga secara terang-terang masih mendukung industri otomotif, dimana pajak pembelian kendaraan sebagian besar diperuntukkan untuk membangun jalan tol dan kawasan parker. Kurang dari 20% dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan sarana dan prasarana transportasi massal. Efeknya rusaknya kebijakan nasional ini mencakup tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas dan konsumsi bahan bakar fosil yang berlebihan. 

Tidak dinyana lagi, pengembangan energi alternatif adalah langkah investasi yang bijak untuk mengurangi kemungkinan pasokan energi akan habis. Menurut the Union of Concerned Scientists, walaupun harga yang dikeluarkan untuk energi alternatif terbilang mahal, teknologi terbarukan dapat membantu stabilasasi harga listrik sehingga menciptakan daya kompetisi. Selain itu energi alternatif ini kompatibel dengan desentralisasi infrastruktur energi. Pada kesempatan lain, switching ke bahan bakar alternatif tidak menyebabkan gangguan ekonomi. 

Program-program yang diinisiasi oleh pemerintah dirasakan oleh banyak pihak sebagai pendorong utama sukses tidaknya kebijakan energi alternatif. Seperti yang pernah dilakukan AS yang mencanangkan fuel- efficient cars, Jerman dengan aturan yang mesyaratkan setiap perusahaan untuk menggunakan pembangkit tenaga listrik ramah lingkungan (renewable sources) seperti panel solar atau turbin/kincir angin. Pemerintah Jerman juga tidak lupa menawarkan subsidi dan pinjaman kepada perusahaan yang menggunakan pembangkit tenaga listrik ramah lingkungan. 

Adam Smith melalui karyanya the Wealth of Nations, pernah berargumen bahwa dalam mekanisme perdagangan bebas ada istilah yang dikenal sebagai the invisible hand. Melalui pendapat Smith ini, dalam situasi krisis, pemerintah dianggap tidak mampu/gagal untuk memecahkan permasalahan kebijakan energi. Semua diserahkan pada mekanisme pasar. 

Vijay Vaitheeswaran mengamati bahwa sampai saat ini, pemerintah diseluruh dunia memandang urusan energi terlalu strategis bila diserahkan kepada pasar. Mereka perlu memastikan bahwa minyak, gas dan listrik tidak dijalankan berdasarkan prinsip pasar. Padahal menurutnya, sudah banyak bukti mismanagement, inefisiensi, polusi dan biaya tinggi yang dihasilkan akibat kebijakan salah urus. 

Masyarakat sebagai konsumen tidak punya pilihan lain, regulasi pemerintah telah memaksa mereka membayar sejumlah biaya yang telah ditetapkan pemerintah. Satu sisi, pemerintah tentu perlu melakukan investasi yang tepat. Disisi lain, mereka harus menghasilkan profit. Banyak yang percaya, pemerintah lebih berhasil mengedukasi publik ketimbang menjalankan regulasi dengan baik. 

Ruschmann memberikan beberapa contoh kegagalan pemerintah menjalankan regulasi energi, diantaranya: 
  1. Pasca embargo minyak Arab, Presiden Richard Nixon, Gerald Ford dan Jimmy Carter berpegang pada peraturan untuk menurunkan harga dan mendorong konservasi pada masa itu. Namun, sekarang para ahli menyimpulkan pendekatan tersebut justru membuat masalah semakin buruk; 
  2. Krisis energi listrik di California antara tahun 2000-2001, saat itu pasokan listrik tidak mampu memenuhi permintaan, para energy traders’ mencoba mengambil keuntungan. Akibatnya, 2 perusahaan energi bangkrut dan memaksa Negara melunasi hutang perusahaan kepada pihak ketiga. 
Untuk beberapa decade, para legislator telah menghapus banyak regulasi yang berdampak pada pasar. Kebijakan deregulasi ini diklaim sukses meningkatkan pasokan energi. Inggris menjadi role model yang pada saat itu mengeluarkan deregulasi tariff dasar listrik. AS melakukan hal yang sama pada industri kelistrikannya. 

Teori ekonomi mainstream berpegang pada pemikiran bahwa ketika sesuatu itu menjadi langka, maka harganya akan meningkat. Tingginya harga mendorong perusahaan energi untuk mencari sumber-sumber baru dan mengembangkan sumber-sumber alternatif. Prinsip dasarnya adalah bisnis; tuntutan pasar. Karena tuntuntan tersebutlah, para pengusaha energy telah merancang beragam produk hemat energi, mulai dari pembangkit listrik, rumah, kendaraan dan peralatan lainnya. Itu sebabnya, banyak orang percaya bahwa kekuatan pasar adalah representasi terbaik untuk memecahkan krisis energi. 

Simpulan 
Nilai strategis minyak dan gas memang selalu debatable, seperti produk dan teknologi pada umumnya, Ruschmann percaya bahwa minyak bisa menjadi berkat, namun bisa juga menjadi kutukan. Lain dari itu, ada dua ancaman yang harus dihadapi kala kita masih memanfaatkan bahan bakar fosil yaitu peak oil dan global warming. Oleh karenanya, isu energi akan selalu jadi perbincangan hangat bagi mereka yang bergerak di bidang sosial, ekonomi dan politik. Melalui karya Ruschmann ini, penulis memeroleh pembelajaran bahwa bila Indonesia ingin menyelamatkan dan menjaga ketersediaan migas dimasa datang pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memiliki kemauan politik untuk mewujudkan kebijakan energi berkelanjutan. 


Referensi tambahan: 
[1] Pudyantoro, A. R. (2012). A to Z Bisnis Hulu Migas. Jakarta Selatan: Petromindo.
[2] Data terperinci dapat diunduh di http://www.migas.esdm.go.id/data-kemigasan/90/Gas-Bumi 
[3] Bisa dibaca lebih lanjut di http://bisnis.liputan6.com/read/520824/cadangan-batu-bara-ri- habis-71-tahun-lagi 
[4] Data dapat dilihat lebih terperinci melalui http://www.djmbp.esdm.go.id/public/38477/produksi-batubara/.produksi/

No comments:

Post a Comment

Setelah baca postingan saya, jangan lupa tinggalin jejak ya. Terima kasih :))