Friday, June 28, 2013

Nelayan Butuh Kemudahan Akses Kredit


Pendahuluan 

Hingga saat ini, proses produksi hingga pemasaran produk perikanan di Indonesia masih didominasi oleh para pelaku pasar skala besar. Sedikit sekali terdengar bahwa aktivitas tersebut dilakukan oleh para nelayan termasuk komunitas nelayan itu sendiri. Para nelayan ini lebih banyak berkontribusi untuk menyuplai ikan segar ke industri perikanan skala besar. Paling tidak mereka baru sebatas bermain pada kegiatan budidaya. 

Minim sekali peluang untuk mereka memproduksi ikan hasil tangkapan menjadi produk setengah jadi hingga produk jadi yang siap dikonsumsi oleh masyarakat. Kendatipun peluang itu ada namun untuk memulainya mereka harus bermodal keterampilan dan paling penting adalah dukungan finansial yang tidak sedikit. 

Nelayan Minim Akses Permodalan 

Pemerintah boleh ambisius untuk meningkatkan kegiatan ekspor produk perikanan ke sejumlah negara di Eropa dan Amerika. Bahkan Afrika dan Timur Tengah menjadi target utama dalam memasarkan produk perikanan seperti sarden, mackerel kaleng, ikan kering, ikan asin lobster, udang, bandeng, dan tuna. Sehingga Quality assurance dan food safety untuk memacu ekspor jadi perhatian utama Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini. Maka tidak heran bila di tahun 2013, KKP menargetkan pengembangan dan penerapan sebanyak 160 Standar Nasional Indonesia (SNI) di sektor pengolahan hasil perikanan, sehingga sebanyak 483 produk perikanan mendapatkan SNI[1]

Namun apakah pemerintah sudah sama seriusnya melakukan upaya-upaya untuk mendongkrak pendapatan para nelayan? Apakah pemerintah sudah menyadari bahwa salah satu permasalahan utama mengapa para nelayan kita tidak kunjung kelihatan perkembangan usahanya adalah belum diperolehnya dukungan permodalan usaha dari perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Dalam Lampiran Renstra KKP 2010-2014 sudah diakui bahwa nelayan/pembudidaya ikan masih kesulitan mengakses kredit karena tidak dapat memenuhi persyaratan perbankan. Ganjalan biasanya tidak jauh-jauh dari soal jaminan apa yang bisa ‘dititipkan’ para nelayan (debitur) untuk menjamin kontinyuitas pengembalian kredit. Jikapun ada diantara nelayan tersebut memiliki jaminan, maka masalah lanjutan adalah pengembalian bunga kredit yang dirasakan masih kembang kempis untuk diupayakan setiap jatuh tempo. Akibatnya situasi sosial ekonomi para nelayan semakin problematis bagaimana disatu sisi mereka harus tetap tangguh memeroleh hasil tangkapan ikan di laut, dan disisi lain harus tetap memikirkan keberlangsungan ekonomi rumah tangga sehari-hari. 

Harus diakui, masalah pengembangan IPTEK bidang perikanan dan kelautan juga tidak kalah penting untuk menghasilkan temuan dan inovasi agar bisa berkompetisi di pasar internasional. Peran Perguruan Tinggi jelas jadi ujung tombaknya. Namun, pemerintah tidak boleh lupa, Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan secara jelas mengamanatkan bahwa tujuan pertama pengelolaan perikanan adalah untuk meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. Baru kemudian bicara peningkatan ketersediaan dan konsumsi, optimalisasi pengelolaan sumberdaya, industrialisasi dan budidaya. 

Peran Pemerintah Menurunkan Bunga Kredit Bagi Nelayan 

Sejak 2012, KKP sebenarnya telah mencanangkan Program Peningkatan Kehidupan Nelayan (PKN) dalam rangka melaksanakan MP3KI dan MP3EI. Tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan, salah satunya melalui skema KUR. Awalnya pemerintah bekerja sama dengan sejumlah Bank BUMN mematok bunga kredit 22-24% per tahun bagi calon debitur disemua sektor usaha mikro. Sejak digulirkan hingga tahun 2012, penyerapan KUR baru mencapai sekitar 708,2 miliar rupiah untuk nelayan atau hanya 0,73 persen dari target nasional yang mencapai 30 triliun rupiah[2]. Namun, khusus sektor perikanan masih rendah. 

Yonvitner[3] menganalisa ada tiga hal pokok yang mendasari rendahnya penyerapan KUR pada nelayan. Pertama, suku bunga KUR yang oleh nelayan masih dianggap tinggi. Sekalipun bunga kredit sudah turun ke level 11,4% per tahun. Nelayan penangkap tetap saja dibebani bunga lebih tinggi dari nelayan pengolahan yang suku bunga KUR-nya 7% per tahun. Padahal dari segi populasi, jumlah nelayan penuh per tahun 2011 adalah 1.024.738 orang dari total keseluruhan yaitu 2.265.213 orang. Sisanya adalah nelayan sambilan utama (879.993 orang) dan nelayan sambilan tambahan (360.482)[4]

Kedua, penjaminan kredit atas aset nelayan yang belum diterima oleh perbankan. Sampai saat ini perbankan belum bisa menerima kapal atau alat tangkap sebagai agunan kredit. Pihak bank selalu meminta nelayan yang mau menjaminkan rumahnya. Penulis sendiri meyakini, pemenuhan syarat tersebut tentu tidak bisa terpenuhi karena rata-rata hunian yang ditinggali oleh keluarga nelayan sebagian besar masih semipermanen. Belum tentu juga tanah yang ditinggali adalah milik mereka. Situasi sosial ekonomi ini yang belum jadi dasar pertimbangan perbankan untuk secara ‘sukarela’ memberikan bantuan modal. Sementara kegiatan menangkap ikan harus tetap dilakukan. Dana yang dimiliki hanya cukup untuk mendanai kegiatan operasional. 

Ketiga, mekanisme yang rigiddan tidak menoleransi perilaku usaha perikanan. Mekanisme perkreditan yang diberlakukan bank saat ini masih rigid (harus ada pengembalian setiap bulan) dan tidak toleran terhadap nelayan. Sementara, usaha perikanan tangkap sangat bergantung kepada alam. Artinya ada unsur ketidakpastian dari usaha para nelayan. Ada masa dimana nelayan bisa melakukan penangkapan secara maksimal, namun di bulan-bulan berikutnya, tidak ada satupun nelayan yang bisa menjamin ikan yang ditangkap sebanyak periode sebelumnya. 

Rekomendasi 
  1. Bantuan sarana dan prasarana dari pemerintah untuk membantu meningkatkan produksi dan hasil tangkapan para nelayan memang perlu bahkan harus dilakukan oleh pemerintah. Namun, Pemerintah juga perlu merancang kerjasama dengan lembaga keuangan melalui paket pinjaman kredit berbunga rendah sesuai dengan kategori nelayan yaitu nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan. 
  2. Trust harus dimulai dari pemerintah dengan memberikan jaminan dan keyakinan kepada lembaga perbankan dan keuangan lainnya agar bersedia menyalurkan kredit usaha berbunga rendah (sesuai dengan rekomendasi no.1) dengan tetap mempertimbangkan unsur ketidakpastian hasil tangkapan ikan; 
  3. Perspektif paket pinjaman hendaknya jangka panjang dan berkelanjutan. Agar upaya monitoring dan evaluasi atas perkembangan usaha para nelayan bisa dipantau dan dikelola dengan baik; 
  4. Sekalipun terdengar mudah untuk dilakukan, upaya sosialisasi kepada para nelayan tentang akses permodalan nayatanya masih jadi kendala implementasi. Sosialisasi program KUR ini perlu gencar dilakukan secara kontinyu oleh pemerintah daerah bersama perwakilan perbankan. Semakin banyak pihak yang dilibatkan dalam kegiatan sosialisasi semakin cepat pula akselerasi penyampaian informasi kepada para nelayan. Pihak-pihak yang menyosialisasikan juga harus memiliki wacana dan kemampuan komunikasi dan beriteraksi dengan para nelayan secara memadai; Pihak perbankan jangan hanya melakukan klaim bahwa telah sukses menyalurkan kredit kepada masyarakat terutama nelayan sekian triliun rupiah, tanpa mampu memberikan gambaran pasti berapa persen nelayan penuh yang telah mampu mengakses KUR tersebut. Karena bisa jadi yang memeroleh kredit bukan nelayan yang secara ekonomi memang perlu bantuan permodalan, karena terbentur dengan jaminan sehingga memaksa mereka untuk kembali meminjam di tengkulak tanpa jaminan tetapi dengan bunga yang tinggi.


[1]  Diperoleh dari Pusat Data Statistik dan Informasi KKP, 2012
[2]  Diakses dari http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/113277 pada tanggal 4 April 2013
[3]  Tulisan Yonvitner diterbitkan harian Republika tanggal 11 Februari 2013 berjudul KUR Belum Sentuh   Nelayan
[4]  Data diperoleh dari http://statistik.kkp.go.id tentang Jumlah Nelayan menurut Kategori Nelayan

No comments:

Post a Comment

Setelah baca postingan saya, jangan lupa tinggalin jejak ya. Terima kasih :))