Monday, June 24, 2013

ENERGY POLICY by PAUL RUSCHMANN, J.D (Part 1)

Pendahuluan 

Sebelum minyak menjadi primadona, batubara sudah lebih dulu hadir dan diproduksi untuk memenuhi kebutuhan energi di Eropa khususnya Inggris. Hingga pada akhirnya, di era 1700an, produksi batubara sudah tidak mampu lagi memenuhi permintaan. Era ini disebut sebagai krisis energi terbesar pada abad itu. 

Revolusi energi (the energy revolution) pun tidak dapat terhindarkan. Tahun 1859, sebuah tim dibawah pimpinan Kolonel Edwin Drake melakukan pengeboran (drilling) minyak untuk pertama kalinya di Amerika Serikat. Bagaimanapun, itu adalah momen bersejarah transformasi ekonomi AS, dimana menurut Michael Klare, AS adalah negara pertama yang mengembangkan industri perminyakan (petroleum industry) skala besar. 

Dalam sejarah kebijakan energi AS, pada tahun 1956, M King Hubbert pernah memprediksi bahwa produksi minyak AS akan mengalami puncaknya antara tahun 1965 dan 1970. Dan itu terbukti di tahun 1970, hingga akhirnya di tahun 1988 untuk pertama kalinya separuh dari kebutuhan konsumsi minyak AS diperoleh dari luar negeri. Banyak upaya yang telah ditempuh pemerintah AS (mulai dari era Presiden Jimmy Charter, Ronald Reagan, hingga George W. Bush) untuk mengatasi permasalahan ini. 

Ada banyak sekali perdebatan tentang bagaimana sebaiknya kebijakan energi diterapkan. Kembalinya Oil Shock di tahun 2008 karena instabilitas ekonomi politik dunia menyebabkan para pembuat hukum dan kebijakan meletakkan isu energi sebagai prioritas nasional. Tidak ada yang menyangka bahwa pada saat itu oil trades akan melebihi $100/barrel. Menurut Ruschmann (p.26) ada perdebatan serius tentang: 
“… how much oil is left, whether renewables are a workable substitute, and what role the government should play in shaping our energy policy.” 
Menurut penulis, perdebatan memang layak diangkat sebagai isu, karena bila dilihat dari perspektif jangka panjang, sumber daya alam adalah faktor yang paling sulit dijaga ketersediaannya secara kuantitas maupun kualitas. Satu sisi, pertumbuhan ekonomi produktif perlu ditingkatkan demi kesejahteraan masyarakat luas. Namun dikesempatan berikutnya, proses produksi itu berdampak signifikan pada penurunan sumber daya alam. 

Untuk menjelaskan bagaimana perdebatan itu terjadi, Ruschmann dalam tulisannya ini ingin mengetengahkan pandangan pro-kontra tentang nilai strategis minyak menjadi tiga bagian (point vs counterpoint) yaitu: (1) Energy depletion vs Energy abundant; (2) Fossil fuels vs Alternative energy; dan (3) Energy crisis vs Free market. 

1. Energy Depletion vs Energy Abundant 

Walaupun pada waktu itu, baru segelintir orang yang percaya dengan teori Peak Oil yang disampaikan oleh M. King Hubbert, namun teori itu kini terbukti. Pada tahun 1956, dia memprediksi: 
If the world should continue to be dependent upon the fossil fuels as its principal source of industrial energy, then . . . [o]n the basis of the present estimates of the ultimate reserves of petroleum and natural gas, it appears that the culmination of world production of these products should occur within about half a century.” (p.28) 
Pendapat Hubbert ini telah banyak diamini oleh beberapa ahli seperti T. Boone Pickers dan Michael Klare. Bahkan sebuah studi dari Departemen Energi AS menunjukkan bahwa: 
There are no more “Super Giants,” reservoirs where oil is the easiest to fi nd, the most economical to develop, and the longest lived. The last Super Giants were found in 1967 and 1968. All the oil that has been found since then comes from smaller reserves, whose oil is more difficult to recover.” (p.29) 
Kini, deplesi energi sudah tidak dapat dielakkan (unavoidable). Dimana supply hanyalah sebagian dari persamaan deplesi energi (the energy-depletion equation), sisanya adalah permintaan (demand) yang semakin hari makin meningkat tajam. Menurut estimasi, konsumsi minyak dunia akan meningkat 2.1% per tahun antara tahun 2001-2020. Gambaran lainnya berasal dari data yang diperoleh BP Statistical Review of World Energy yang menunjukkan produksi minyak dunia meningkat hanya dengan hitungan tahun, dari 60 milyar/barrels di tahun 1981 menjadi 80 milyar/barrels di tahun 2006. 

Hal perlu ktia ketahui, saat ini 25% minyak mentah dunia (the world’s crude oil) dan 45% bensin (gasoline) dikonsumsi oleh Amerika. 95% kebutuhan energi ini mayoritas kita gunakan untuk transportasi, sisanya untuk bahan pembuatan produk seperti plastik, pupuk, farmasi dan komponen elektronik. Menurut Colin Campbell, sekarang sudah tidak ada jaminan harga minyak murah. Minyak yang selama ini elu-elukan sebagai sumber sekaligus faktor pendorong kemakmuran ekonomi abad 21, ibaratnya sudah seperti telur diujung tanduk. 

Selain itu, tidak ada satupun jamina bahwa negara-negara pengekspor minyak akan terus menjual ke Negara lain sesuai dengan tuntutan pasar. Beberapa negara, seperti Iran, telah menggunakan minyak sebagai senjata ekonomi. Lain lagi dengan Meksiko yang suatu saat bisa jadi mengambil kebijakan penghentian ekspor minyak karena mereka membutuhkan minyak untuk memenuhi permintaan dalam negeri yang semakin meningkat. Belum lagi kejadian eksternal yang terjadi di negara-negara penghasil minyak seperti aksi perlawanan di Irak, pemboman di Riyadh, kerusuhan di Venezuela atau Nigeria yang bisa mendorong lonjakan harga dan resesi ekonomi dunia. 

James Kunstler bahkan lebih apocalyptic, menurutnya: 
Peak is quite literally a tipping point. Beyond peak, things unravel and the center does not hold. Beyond peak oil, all bets are off about civilization’s future.” (p.38) 
Dia meramalkan bahwa akan terjadi situasi darurat berkepanjangan (long emergency) dimana globalisasi berhenti dengan tiba-tiba, standar hidup manusia perlahan turun secara dramatis hingga rusaknya tatanan sosial. Sekalipun seorang pesimis (the pessimist) seperti Pickens keliru tentang waktu, tapi kita semua pasti tahu bahwa produksi minyak akan mengalami puncaknya. Kita baru akan sadar bila itu sudah menjadi fakta, dimana kita sudah terlambat untuk bertindak. 

Sudah ada tanda-tanda bahwa produksi minyak serta gas alam di seluruh dunia mendekati puncaknya. Sementara permintaan energi terus tumbuh, terutama di negara-negara berkembang. Bila kita ingin menghindari depresi ekonomi dan disintegrasi sosial, kita harus bertindak dengan cara menghemat energi (conserve energy) dan menemukan substitusi energi dalam bentuk lain. 

Bila para ahli (the pessimists) diatas percaya bahwa saat ini dunia mengalami krisis energi, maka Stephen Moore secara kontras memiliki pandangan berbeda bahwa sumberdaya yang bernilai itu bukanlah sumberdaya alam tapi, kita yaitu manusia (the human intellect). Dia juga mengingatkan, kita telah diperingatkan bahwa kita akan menghadapi energy shortages namun itu selalu keliru, tidak bisa dibuktikan hingga hari ini. Perubahan perhitungan jumlah cadangan minyak ini bisa terjadi tergantung pada teknologi yang memungkinkan dapat diambil dan diangkat ke permukaan sehingga layak untuk dijadikan proven reserves.[1] Singkatnya, kita masih memiliki persediaan minyak yang melimpah (abundant) untuk beberapa dekade ke depan. 

Sikap optimis juga ditunjukkan oleh sejumlah kalangan, dimana secara tidak langsung berseberangan dengan pendapat Hubbert, diantaranya: 
  1. Tahun 2006, British Petroleum mengestimasi bahwa lebih dari 50 tahun kedepan, cadangan minyak dunia (the world’s proven oil reserves) mencapai angka 1.21 triliun barrels, dan itu cukup untuk konsumsi rata-rata saat ini; 
  2. Robert Bradley mencatat bahwa cadangan minyak dunia hari ini 15 kali lebih besar dari rekor yang telah dibukukan di tahun 1948; 
  3. Bahkan David Deming secara kontras menyatakan bahwa istilah “cadangan” itu menyesatkan sehingga menciptakan impresi bahwa minyak akan habis dengan cepat. Amerika memang pernah mengalami itu di tahun 1930, namun cadangan minyak semakin meningkat karena bantuan teknologi yang memungkinkan kita menemukan sumber-sumber minyak baru; 
  4. Gagasan Deming dijustifikasi oleh Adelman (professor dari MIT) bahwa 25 tahun lalu, pengeboran lepas pantai (offshore) hanya bisa sampai dikedalaman 1000 kaki. Namun, 25 tahun kemudian, para pekerja minyak mampu mengerjakan pada kedalaman 10.000 kaki. Kemajuan teknologi memungkinkan mereka untuk mengebor tanpa struktur baja yang mahal; 
  5. Tahun 2007, berdasarkan laporan US Geological Survey bahwa dunia memiliki 732 miliar barel minyak konvensional yang belum ditemukan dan seperempatnya bisa ditemukan di Arktik dimana masih relatif sedikit dieksplorasi. 
Kalaupun minyak mulai menunjukkan tanda-tanda habis, kita masih memiliki pasokan bahan bakar konvensional seperti batubara, gas alam dan tenaga nuklir. Roberts menambhakan, gas alam menghasilkan emisi dan gas rumah kaca lebih sedikit dan mudah disuling menjadi hidrogen murni untuk sel bahan bakar listrik dan teknologi lain dimasa depan. Tidak kurang-kurang, status cadangan gas alam dunia yang telah dikonfirmasi mencapai 6.112 triliun TSCF, dimana Indonesia berkontribusi sebanyak 98 triliun TSCF. Lapangan gas Tangguh Indonesia juga termasuk salah satu yang terluas dari 20 negara di dunia. Status terakhir (2012) menunjukkan jumlah produksi (net production) gas alam Indonesia mencapai 2,982,753,478 TSCF.[2]

Selain minyak, Amerika juga Negara yang kaya akan batubara. Tahun 2003, total cadangannya saja 496 miliar, cukup untuk 200 tahun lebih. Meskipun tidak sebanyak AS, Indonesia juga memiliki cadangan batubara 28 miliar ton yang diproyeksi cukup untuk kebutuhan 71 tahun ke depan.[3] Indonesia memiliki total produksi batubara 230,997,287.59 ton (tahun 2012-2013).[4] Dalam rangka mengurangi jumlah serta emisi batubara, para ilmuwan telah mengembangkan teknologi clean coal

Energi nuklir juga tidak kalah potensial. Saat ini, seperlima tenaga listrik Amerika berasal dari PLTN, meskipun pembangunannya terhenti pasca insiden pabrik di Three Mile Island tahun 1979. Dibanding batubara dan gas alam, tenaga nuklir menghasilkan sedikit polusi. Ditambah lagi, saat ini sudah ada yang mulai memanfaatkan minyak nonkonvensional yang sulit untuk ditemukan dan dijadikan bahan bakar yaitu oil sands. Sumber heavy oil ini banyak ditemui di Kanada. 

Banyak ahli berpendapat bahwa tingginya harga energi bukan berarti bahwa pasokan akan perlahan habis. Di Timur Tengah yang notabene sumber utama minyak dunia, mengeluarkan biaya rendah untuk pemulihan minyak. Karena price-fixing membantu menjaga harga minyak lebih tinggi daripada biaya pemulihan tersebut. Situasi politik di Negara-negara produsen minyak juga berdampak pada harga. Kualitas infrastruktur seperti jaringan pipa, jaringan listrik, kilang produksi dan transportasi juga menjadi faktor penting yang memengaruhi harga minyak. 

Mereka yang optimis ini pada dasarnya ingin menggugah mereka yang masih pesimis bahwa pasokan minyak kita masih cukup untuk memenuhi kebutuhan dunia untuk beberapa decade mendatang dan masih ada sumber minyak nonkonvensional yang masih bisa ditemukan. Sekalipun suatu saat produksi minyak menipis, kita masih bisa memanfaatkan gas alam, tenaga nuklir dan batubara tanpa bergantung pada energy alternative yang berlu teruji kehandalannya. 

2. Fossil Fuels vs Alternative Energy 

Hari ini, Arab Saudi adalah Negara pemasok minyak terbesar di dunia, termasuk ke Amerika Serikat. Para ahli telah mengingatkan bahwa ketergantungan AS pada minyak Arab Saudi dan Negara Timteng lainnya dapat menjerat AS masuk ke dalam permainan politik mereka dan membuat persaingan ekonomi menjadi rentan, bermusuhan dengan rezim penguasah bahkan teroris. Menurut penulis, mengingat Indonesia kini sudah berstatus net oil importer, situasi tersebut juga perlu jadi pertimbangan politik pemerintah Indonesia. 

Menurut BP Statistik Review, Amerika memang mengosumsi hampir seperempat (24.1%) minyak dunia tetapi hanya menyumbang 8% produksi dunia. Pasokan tersebut akan terganggu ketika ada intervensi pemerintah Negara penghasil minyak. Beberapa diantaranya bahkan menyatakan sikap berseberangan secara terbuka kepada AS diantaranya Iran dan Venezuela. 

Sementara itu, estimasi terkini dari Oil & Gas Journal melansir bahwa lebih dari 60% cadangan minyak dunia ditemukan di Negara-negara yang mengalami instabilitas politik yang dapat membatasi ekplorasi dan produksi minyak di negaranya. Sekarang, pasokan minyak dunia kebanyakan berada dibawah kontrol pemerintah daripada perusahaan minyak itu sendiri. Contohnya China. 

Sejumlah pihak percaya bahwa serangan 11 September 2001 berkaitan dengan isu ketergantungan AS terhadap minyak luar negeri. Konsekuensinya 10% dari produksi global (8juta barrel minyak) hilang dari peredaran. Ketergantungan AS terhadap pasokan minyak luar negeri inilah yang memicu kebijakan luar negeri AS dengan mengirimkan pasukan militernya ke seluruh dunia demi mengamankan akses kesana. Kebijakan ini dikenal oleh dunia sebagai The US Military-Industrial Complex. Semuanya berawal saat Perang Teluk Persia tahun 1991, kemudian lanjut saat Invasi Irak tahun 2003. 

Menurut Klare, bagi AS, China adalah rival utama dalam perebutan minyak dan berkontribusi terhadap pengetatan ketersediaan dan harga yang lebih tinggi. Hal terburuk adalah bila terjadi konflik dengan Washington, ditambah lagi secara ekonomi politik China lebih dekat dengan Asia Tengah dan Timur Tengah.   

Tingginya harga minyak selama 1970an mengakibatkan aliran dana dari negara pengomsumsi minyak kepada produsen tidak dapat dikelola dengan baik. Menurut Michael Ross, negara-negara ini menjadi korban dari "oil curse". Besarnya dana yang mereka terima menyebabkan Negara-negara tersebut menjadi diktator dan merasa punya kuasa untuk memperkaya rekan politik, dan membeli polisi dan militer. Mereka kian mengabaikan kebutuhan warga Negara miskin seperti kelangsungan hidup bayi, nutrisi, harapan hidup, melek huruf dan tingkat pendidikan yang lebih buruk dari Negara produsen minyak. Ada ketimpangan yang sangat besar antara yang miskin dengan yang kaya. Resiko pemberontakan dan perang sipil sangatlah mungkin terjadi. 

Ketergantungan tersebut tidak hanya berdampak secara social, namun juga potensial mengancam keberlangsungan planet bumi. Pelepasan gas rumah kaca (GRK) secara perlahan meningkatkan suhu bumi (global warming). Banyak spesies tanaman dan hewan yang mati karenanya. Bahan bakar fosil juga menjadi penyumbang masalah emisi GRK. Pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas utama daripada melindungi lingkungan, seperti yang terjadi di China. Atas alasan itu, perhatian dunia kemudian memusatkan perhatiannya pada sumberdaya alternatif yang dapat diperbarui seperti biomassa, biodisel, energi geotermal, hidrogen, tenaga solar, tenaga tidal, energi gelombang dan energi angin. 

Namun, ada pandangan lain menyatakan bahwa sumber energi alternatif tersebut tidak lebih menarik dari sumberdaya tradisional, karena beberapa alasan praktis berikut ini: 
  1. Sumber energi alternatif belum dapat diandalkan; 
  2. Dua jenis sumber alternatif yaitu solar dan tenaga angin, tidak bisa memproduksi tenaga 24 jam/hari, 7 hari/minggu; 
  3. Butuh infrastruktur energi baru, modifikasi, waktu puluhan bahkan ada hingga seratus tahun dan dana triliunan dollar untuk membangunnya. Pada konteks Indonesia, meskipun kaya sumberdaya alternatif, kendala utama pemerintah kerapkali terbentur pada masalah pendanaan. 
Banyak aktivis yang menyerukan agar kita beralih dari tradisional ke bahan bakar alternatif. Namun bagi pihak yang kontra, tindakan tergesa-gesa dan inefisiensi pemerintah dianggap bisa menyumbat temuan-temuan alternatif yang lebih baik dimasa depan. Selain itu, terlalu banyak memfokuskan diri pada upaya konservasi bisa membuat perekonomian Negara menjadi lesu. 

Selain itu, banyak aktivis yang bias terhadap energi nuklir, meskipun ini merupakan alternatif yang sangat baik untuk bahan bakar fosil. Mereka mungkin lupa bahwa separuh dari sumber listrik di AS adalah berasal dari PLTN. Beberapa pihak percaya bahwa para aktivis lingkungan menggunakan isu deplesi energi untuk melawan agenda sosial ekonomi sayap kiri. Banyak dari mereka yang mampu membayar pajak dan harga energi berlebih untuk membatasi pengeboran minyak dan pembangunan PLTN. Inhofe pun mengingatkan bahwa masyarakat kelas pekerja (working class) dan miskin tidak seberuntung mereka. 

Meskipun industri energi alternatif telah ada selama beberapa dekade, namun belum sukses secara komersil. Meskipun miliaran dolar telah dikucurkan pemerintah, bahan bakar alternatif masih lebih mahal daripada tradisional. Bahan bakar alternatif tidak akan mengakhiri ketergantungan kita pada bahan bakar fosil, karena teknologi saat ini masih memerlukan bahan-bakar fosil untuk menghasilkan energi alternatif. 

... bersambung 

No comments:

Post a Comment

Setelah baca postingan saya, jangan lupa tinggalin jejak ya. Terima kasih :))